Wacana Kadaluwarsa
Kusni Sulang
“Pantha Rei”, segalanya mengalir, ujar filosof Yunani Kuno. Mengalir artinya berubah, bergerak. Gerak adalah hukum yang mengendalikan segala, berada di luar kemampuan dan kemauan manusia untuk mengendalikannya. Karena itu Mao Tse-dong mengatakan bahwa kemerdekaan itu jika kita mengenal hukum hal-ihwal dan berdasarkan hukum itu kemudian bertindak untuk mengubah hal-ihwal, termasuk keadaan. Jika diterapkan pada keadaan sosial, maka yang dimaksudkan adalah melakukan perubahan sosial manusiawi. Sebab mengenal keadaan adalah salah satu tahap saja dari suatu proses keberpihakan manusiawi. Tesis ke-11 Marx tentang Feuerbach menyebutkan bahwa: “The philosophers only interpreted the world differently, but what counts, is to change it (the world)”. Para filsuf telah menafsirkan dunia secara berbeda-beda, tapi yang terpenting adalah mengubah dunia itu” (Dikutip dari makalah Frans Sani Lake, “Reintegrasi Kebudayaan Dayak, Oktober 2011).
Kalimantan Tengah pun tidak bisa mengelak dari hukum gerak yang universal. Kalimantan Tengah sekarang berbeda dengan Kalimantan Tengah zaman Tumbang Anoi 1894, berbeda pula dengan Kalimantan Tengah zaman Pakat Dayak 1919 yang mengkroreksi kesalahan Pertemuan Tumbang Anoi, berbeda dengan zaman Tjilik Riwut 1957 dalam hampir seluruh bidang. Dari segi demografis, Kalimantan Tengah tidak lagi didominasi oleh orang Dayak. Di beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS), bahkan orang Dayak hanya berjumlah 5% atau 45%. Perubahan komposisi demografis in akan terus berlangsung. Perubahan juga sangat nampak di bidang kebudayaan. Budaya Dayak. Kebudayaan dan masyarakat Dayak, oleh Frans Sani Lake dinilai mengalami “tragedi historis di tengah modernitas yang menghasilkan disintegrasi historis” (Frans Sani Lake, 2011). Perubahan juga melanda dunia politik, ekonomi dan sosial.
Di hadapan perubahan demikian, elit Dayak dan Kalimantan Tengah menawarkan budaya yang disebut filosofi budaya huma betang. Isi filosofi budaya huma betang itu pada tahun 1990 dirumuskan sebagai “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’’, rumusan yang diambil dari pepatah Melayu lama untuk melukiskan keniscayaan beradaptasi, menghormati adat-istiadat setempat di mana sesorang sedang berada, tanpa tanggungjawab pemberdayaan dan pembangunan. Hanya saja oleh perkembangan, agaknya common sense begini sudah menjadi ketinggalan zaman, tidak lagi tanggap terhadap perkembangan serta rangkaian nlai republikan dan berkeindonesiaan.
Uluh Kalimantan Tengah bukan hanya Uluh Itah (Orang Dayak). Tapi semua yang tinggal, bekerja, dan hidup di Kalimantan Tengah. Ketika menjadi Uluh Kalimantan Tengah, tanggung-jawab mereka terhadap Kalimantan Tengah mestinya sama. Kalimantan Tengah adalah kampung-halaman mereka. Jika hanya menjunjung langit yang mereka pijak, mereka tidak mempunyai tanggung-jawab dan tidak pernah merasa satu dengan Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah tidak pernah mereka hayati sebagai kampung-halaman. Mereka selamanya akan menjadikan Kalimantan Tengah sebagai tempat usaha, numpang kerja mencari hidup. Mereka akan selamanya jadi wisatawan domestik. Selamanya akan merasa diri sebagai pendatang. Padahal Manusia Indonesia, demikian juga republik dan berkeindoesiaan sesungguhnya mengandung gagasan yang berbeda dengan pandangan, sikap dan perasaan demikian. Pandangan, perasaan dan sikap demikian bertolak belakang dengan rangkaian nilai republikan dan berkeindonesiaan. Jika common sense begini yang dominan maka tidak terelakkan sekat-sekat tebal akan memisahkan unsur-unsur komposisi demografis yang heterogen. Pandangan budaya begini akan menjadi dasar pembenaran secara filosofi untuk memelihara ghetto-ghetto dalam diri semua pihak, menyemai kekerasan (secara tidak disadari), yang bisa menyeret Kalimantan Tengah meluncurkan akhtret, laju ke belakang. Apabila pandangan, perasaan dan sikap demikian dijadikan pegangan maka ia lagi-lagi hanya memperlihatkan bahwa Republik Indonesia dan Manusia Indonesia adalah sesuatu yang sedang menjadi. Republik dan keindonesiaan sekarang tidak lebih dari sesuatu yang formal. Dasarnya belum solid. Lagi-lagi hal ini pun memperlihatkan betapa perlunya politik kebudayaan yang tanggap dan apresiatif untuk mengejawantahkan rangkaian nilai republikan dan berkendonesiaan, bukan retorika. Saya khawatirkan retorika hanya membuat “tragedi historis” dan “disintegrasi historis”, meminjam istilah Frans Sani Lake, akan menjadi-jadi. Hal ini berlangsung oleh pandangan kita yang meremehkan kebudayaan dan belum menghayati makna kebudayaan sesungguhnya. Masyarakat Kalimantan Tengah sekarang pada dasarnya mengarah ke hedonisme yang meremehkan human value dan valuation, dibayangi oleh “budaya” kekerasan, mulai dari kalangan elit hingga ke akar rumput.
Pandangan, sikap, dan perasaan yang tanggap zaman dan apresiatif sekarang tidak lain “dimana bumi dipijak di sana langit dibangun”. “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” sudah kadaluwarsa. Il n’y a plus de sense (tak punya arti apa-apa lagi). Common sense yang ketinggalan zaman dan berbahaya. Yang good sense adalah “di mana bumi dipijak di sana langit dibangun”. Ia meniscayakan pembauran, tanggung-jawab (hak dan wajib) warga negara dan tanggung-jawab manusiawi yang dalam sastra lisan Dayak Katingan disebut “rengan tingang nyanak jata” (anak enggang putera-puteri naga).***
Kusni Sulang, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah
Wacana Kadaluwarsa
Thursday, November 03, 2011
Thomas Wanly
Posted in
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Postingan Popular
-
BERITA MEDIA PUBLIK: SEJARAH KALIMANTAN TENGAH : Media Publik - Kalimantan Tengah. adalah salah sebuah provinsi di Indonesia yang terleta...
-
MURUNG RAYA ADVENTURE: EXPEDISI KHATULISTIWA MEMORY : Hanya 37 Orang yang Lolos Seleksi Ritual Adat Menembus hutan belantara Gunung Bondan...
-
Mining the Heart of Borneo: coal production in Indonesia
No Response to "Wacana Kadaluwarsa"
Post a Comment