Selamat Datang Di Blog ini Semoga Bermanfaat... Terima Kasih Kunjungannya

Kamu Suka ini?

Anti-Korupsi Dan Ekonomi Kerakyatan

Anti-Korupsi Dan Ekonomi Kerakyatan

Krisis ekonomi tahun 1997 disusul oleh jatuhnya Soeharto dari panggung kekuasaan. Indonesia mengalami krisis multi dimenszional dan bahkan eksistensinya sering juga disebut sebagai berada di ujung tanduk. Krisis dan kemiskinan mencuat menjadi tema diskusi sengit. Ekonom-ekonomi seperti Sri Mulyani Indrawati, Anwar Nasution ataupun Charmeida Tjokrosuwarno misalnya menjelaskan krisis ekonomi dan kemiskinan yang merajalela setelah “Bapak Pembangunan” tidak lagi berkuasa, dikaitkan dengan mengguritanya korupsi dalam masyarakat kita –warisan “Bapak Pembangunan” Indonesia itu. Ekonom-ekonom di atas kesemuanya memandang krisis ekonomi tidak terlepas dari faktor moral hazard. Dalam hal ini korupsi ‘’menjadi penjelasan paling sahih atas kegagalan dan penyakit dalam kehidupan ekonomi” dan ‘’Korupsi pulalah penyebab kemiskinan". Pandangan begini, bukan saja mendominasi ruang-ruang akademis dan perdebatan soal ekonomi, tetapi juga dipergunakan oleh para politisi untuk menjatuhkan lawan politiknya di saat pemilihan.” Seperti ditulis oleh Editorialis Berdikari, penjelasan demikian, begitu hegemonik di tengah opini publik, bukan saja karena ditopang oleh kaum elit dan kelas menengah beserta perangkatnya, hingga berhasil menyingkirkan isu "kebijakan" dari ruang politik”.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kunci dari masalah krisis multi dimensional dan kemiskinan, menurut pandangan par ekonomi tersebut dan yang juga dianut oleh pemerinth Susilo Bambang Yudhoyono,terletak pada mampu tidaknya kita mengatasi masalah korupsi. Sementara DPR menyusun UU yang meringankan hukuman terhadap para koruptor. Dari data laporan tahun 2010, MA menyebutkan sebanyak 442 kasus korupsi telah diputus. Dari 90,27 persen koruptor yang divonis bersalah, tercatat 269 perkara atau 60,68 persen yang terdakwanya divonis antara 1 hingga 2 tahun(Detik News, 24 Februari 2011). Sehingga jika demikian, kita berada dalam suatu lingkaran setan. Padahal menurut pandangan di atas, jika kita berhasil lepas dari lilitan jerat gurita korupsi, maka kesejahteraan akan diperoleh, kita pun keluar dari belenggu krisis demi krisis.
Dengan pandangan hegemonik demikian, dan menempatkan kapitalisme kroni sebagai musuh, lalu muncullah desakan agar kaum tekhnokrat mengisi jabatan-jabatan birokrasi. Logika begini mengatakan bahwa melalui cara ini maka korupsi yang menjadi pangkal petaka akan dibersihkan, good governance akan terwujud. Secar bersamaan, mereka juga mengutuk kapitalisme kroni, yang dulu pada zamn Pemerintahan Soekarno disebut kapitalis birokrat (menjadi kapitalis melalui penyalahgunaan kekuasaan) dan membangun Dinasti Ekonomi masing-masing, sebagai musuh, kaum neoliberal mulai meminta kaum teknokrat untuk mengisi jabatan-jabatan birokrasi. Tapi benarkah, para tekhnokrat bisa bebas dari korupsi dan tidak akankah mereka pun akan melakukan praktek serupa jika sudah menduduki jabatan-jabatan birokrasi? Pertanyaan ini dijawab oleh kenyataan di manapun di negeri ini, termasuk di Kalteng yang tidak memberikan bukti yang membenarkan alasan demikian. Berdasarkan penelitiannya di Thailand di bawah kekuasaan Thaksin (2001-2006) Walden Bello, seorang penulis Philipina, sampai pada kesimpulan bahwa para teknokrat dan politisi liberal punya dosa lebih besar dalam soal pemiskinan rakyat letimbang politisi korup. Thaksin dari tahun 2001-2006, yang berhasil memulihkan Thailand dari krisis ekonomi tahun 1997 dengan menendang keluar IMF dan menjalankan sejumlah program sosial: sistem layanan kesehatan murah, satu juta bath dana pembangunan kota-kota, moratorium utang petani, dan kredit mikro bagi kaum tani.
Tanpa mengurangi pentingnya memberantas korupsi, tapi kalau kenyataaan tidak membuktikan argumen di atas, artinya korupsi bukanlah musabab kunci dari krisis, kegagalan pembangunan ekonomi dan kemiskinan merajalela,yang sering ditutupi oleh angka-angka statistik resmi (bentuk lain dari korupsi. Dengan menyebut korupsi sebagai penyebab utama, sama dengan berusaha proses pemiskinan yang diikuti oleh segala rupa krisis dan permasalahan sosial, yang muncul sebagai akibat pilihan politik atau kebijakan yang diambil. Pilihan politik itu misalnya pencabutan subsidi, liberalisasi perdagangan, prioritas pembayaran utang luar negeri, produksi berorientasi ekspor, privatisasi dan deregulasi, dan lain-lain. Pilihan politik begini dengan berani disebut sebagai kebijakan ekonomi kerakyatan, padahal sesungguhnya tidak lain dari dari politik ekonomi.neo-liberal.

Apakah politik ekonomi neo-liberal itu? Istilah ‘neo-liberalisme’ yang luas digunakan dewasa ini pada mulanya adalah nama yang dipakai para pejuang demokrasi di Amerika Latin untuk menggambarkan watak ideologis kolusi antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar-bebas dalam coraknya yang ekstrem. Ekonomi-politik rezim Pinochet di Chile (1973-1990) menjadi model par excellence yang dimaksud para pejuang itu. Dari sana istilah ‘neo-liberalisme’ menyebar. Ketika kediktatoran mulai surut di benua itu, istilah ‘neo-liberalisme’ dipakai untuk menunjuk kinerja ekonomi pasar-bebas dalam coraknya yang ekstrem, meskipun negeri seperti Chile tidak lagi memakai sistem ekonomi pasar bebas se-ekstrem rezim Pinochet.Maka mulailah kisah pemakaian istilah ‘neo-liberalisme’ secara amat longgar seperti sekarang. Trio deregulasi-liberalisasi-privatisasi, misalnya, memang merupakan motor kebijakan ekonomi ‘neo-liberal’ di Amerika Latin waktu itu. Namun, tidak semua bentuk deregulasi-liberalisasi-privatisasi merupakan agenda neo-liberal, seperti yang sering tertulis di banyak spanduk demonstrasi menentang IMF dewasa ini. Cuma, itu bukan lalu berarti neo-liberalisme identik dengan kebebasan, hanya karena di situ ada kata ‘liberal’ (liber: bebas; libertas: kebebasan); dan lalu pengritik neo-liberalisme sama dengan kaum anti-kebebasan (B.Hinu Priyono).



Jadi inti dari neo-liberalisme adalah trio deregulasi-liberalisasi-privatisasi. Lebih singkat, adalh pasar besar, negara lepas tangan dalam kehidupan ekonomi. Dalam istilah uang sering diberitakan oleh Koran-koran Kalteng, memberi keleluasaan dan fasilitas bagi investor. Investor dipandang sebagai pendongrak kehidupan ekonomi daerah sementara kenyataan, sampai sekarang yang maju di Kalteng adalah konflik social. Kasus Jalan Badak Palangka Raya yang berdarah hanyalah salah satu petunjuk saja tentng keadaan Kalteng sebagai provinsi beresiko tinggi (high risk province). Bahkan sangat beresiko tinggi. Di atas cara produksi, yang dibangun dari alat produksi utama tanah dan kandungannya muncullah kapitalisme kroni, kapitalisme birokrat dan dinasti-dinasti ekonomi. Korupsi adalah salah satu perwujudan dari cara produksi demikian dengan dampak merusak kehidupan masyarakat di berbagai bidang. RTRWP yang perencanaannya hanya dilakukan oleh segelintir elit kekuasaan saja dan tidak pernah disosialisasikan, meninggalkan partisipasi masyarakat, demikian juga rebutan dana REDD Plus, bukan tidak mungkin jika sudah ditetapkan akan mempercepat konflik sosial besar di Bumi Tambun Bungai.



Uraian di atas mau mengatakan bahwa anti korupsi saja tidak cukup, tidak menyeesaikan soal mendasar. Soal dasar terletak pada cara produksi dan pengembalian alat produksi pada masyarakat, terutama Masyarakat Adat, sesuai prin.sip ekonomi kerakyatan alias demokrasi ekonomi seperti tertera pada Pasal 33 UUD ’45. Yang dilakukan sekarang bertentangan dengan prinsip ekonomi kerkyatan. Melaksanakan demokrasi ekonomi berarti kita membebaskan tenaga produktif. Untuk itu dari atas, Gubernur dan bupati yang merakyat menetapkan pilihan politik merakyat, dan mutlak dibantu oleh kabinet yang kabinet yang merakyat serta berkemampuan. Di pihak lain, masyarakat luas (terutama lapisan bawah) memperkuat daya tawarnya dengan mengorganisasi diri, misalnya memperkuat organissi lembaga-lembaga adat yang benar-benar beradat. Dengan daya tawar yang kuat, Masyarakat Adat yang bebas, tidak terkontaminasi dan tidak elitis, mampu mengawasi pemerintah dan menghadapi siapapun untuk membela hak-hak diri. Tidak ada cara efektif lain untuk memberdayakan diri di Kalteng yang beresiko tinggi serta tak lebih dari daerah koloni dalam wilayah Republik Indonesia seperti sekarang. Gerakan anti korupsi patut dibarengi dengan gerakan pemberdayaan masyarakat dan pembebasan tenaga produktif. Harapan terakhir ada di tangan masyarakat sendiri. Standar kepentingan tertinggi juga tidak lain dari kepentingan rakyat saja. Maka seperti ujar lirik Negro Spiritual dan Bob Marley, ‘’raja’’ kaum rastafari: ‘’O brother, don’t you weep , don’t you pray, salvation is not coming that way” so that “stand up right now and take up your rights!!” (Wahai saudaraku, janganlah kau menangis, jangan menangkup tangan belaka, dengan cara demikian keselamatan takkan tiba” maka “bangkitlah sekarang juga. Ambil kembali hak-hakmu!”).



KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, Palangka Raya.

No Response to "Anti-Korupsi Dan Ekonomi Kerakyatan"

Postingan Popular

KOMPAS News Regional

Berita Lingkungan Nasional

Lowongan Kerja di Kalimantan Tengah