Filosofi Rumah Betang berkaitan erat dengan azas kekeluargaan yang diciptakan oleh leluhur suku Dayak Kanayatn di Rumah Betang ini. Menurut cerita dari leluhur mereka, dahulu semua orang Kanayatn tinggal secara terpisah satu sama lainnya, sangat sulit berhubungan dan memantau keadaan masing-masing.
Orang tertua kanayatn merasa perlu memperhatikan sanak saudara-saudaranya. Untuk mempertemukan semua anggota keluarga yang terpisah-pisah, terbit sebuah ide. Yakni membangun rumah agar mempermudah hubungan antar sesama anggota yang sebelumnya berjauh-jauhan. Rumah itu dibuat memanjang untuk menampung jumlah keluarga yang seiring waktu semakin bertambah, saat itulah penamaan Rumah Panjang atau Rumah Betang tercipta.
Seiring berjalannya waktu, mereka menyadari pentingnya membangun sebuah hubungan antar sesama manusia, sesuai dengan prinsip hidup leluhur mereka yaitu saling membantu sesama manusia – sebuah nilai kemanusian yang bersahaja. Mereka mulai menciptakan aturan-aturan tentang tata krama kehidupan bermasyarakat yang baik, itulah awal mula terciptanya hukum adat.
Hingga saat ini, azas kekeluargaan itu masih melekat dalam kehidupan keluarga yang sekarang menghuni Ruah Betang. Secara garis besar, semua peghuni rumah betang merupakan sebuah keluarga besar yang berasal dari satu pertalian keturunan darah yang sama.
Keluarga yang besar ini memiliki hirarki adat yang tersusun kedalam struktur lembaga adat Dayak Kanayatn. Ada tetua adat yang mengetahui semua hal yang berkaitan dengan budaya rumah betang, ada juga penanggung jawab rumah betang, kepala desa, sekretaris desa semuanya juga berkumpul menjadi satu didalam Rumah Betang. (RM)
Rumah Betang, Rumah Kehidupan Suku Dayak
Dalam sekali pandang, bangunan itu tidak tampak seperti sebuah rumah. Begitu besar, panjang, dan menjulang dari permukaan tanah pasir yang ditopang oleh tiang-tiang pondasi setinggi satu meter. Terasnya luas dan panjang seperti sebuah dermaga di tepian laut. Sejurus kemudian terdengar percakapan ramai berbahasa Ahe, bahasa suku Dayak Kanayatn.
Sekumpulan anak-anak menuruni tangga dan mengajak saya untuk menaiki bagian atas bangunan itu. Sebuah rumah kayu lebar dan sangat panjang berdiri kokoh di depan mata. Inilah Rumah Panjang, atau yang disebut Rumah Betang, ciri khas suku Dayak. Panjangnya mencapai 186 meter dan terdapat 36 kusen pintu setelah melewati teras, masing-masing kusen pintu adalah pintu masuk rumah dari masing-masing kepala keluarga.
Mereka menyebut masing-masing rumah keluarga berdasarkan nomor pintu rumah. “Pintu satu, itu pintu keluarga yang pertama, pak Albertus penghuninya,” kata Paulus Adi, yang mengantarkan saya menuju suku Dayak Kanayatn. Untuk menuju ke lokasi, diperlukan waktu 3 jam dari kota Pontianak dan sampai ke desa Sahamp, kecamatan Sengah Temila tempat Rumah Betang ini berdiri.
Rumah Pak albertus terletak di pintu satu. Salah satu hal yang menjadi daya tarik dari Rumah Betang adalah kehidupan yang berjalan didalamnya. Ketika masuk ke dalam, masih ada beranda bagian dalam rumah sebelum masuk ke dalam pintu masing-masing rumah satu keluarga. Keramaian rumah tak kalah dengan keraiman pasar pagi. Terlihat pula, modernitas telah masuk kedalam kehidupan Rumah Betang yang dominan masih tradisional ini.
Di musim-musim kemarau seperti Agustus, penghuni rumah betang sibuk berladang, membuka ladang, menebar benih padi dan menggarapnya. Dia siang hari, para wanita dan lansia kerap membuat anyaman berbentuk persegi panjang yang dipakai untuk atap dan terbuat dari daun kelapa dan anyaman untuk tampah beras. Mereka menggunakannya untuk mengganti atap rumah yang sudah mulai rusak.
Asas kekeluargaan Kanayatn tak hanya tersirat dari Rumah Betang saja, tetapi tersimpan dalam setiap isoteris karya seni pahat patung kayu yang digeluti oleh seorang seniman yang tinggal di pintu satu. Semua patung kayu, mencerminkan keluhuran budaya dan kesahajaan Kanayatn.
Rumah Albertus, seorang seniman suku Dayak Kanayatn yang juga memegang jabatan sebagai penanggungjawab Rumah Betang, menjadi tempat kunjungan bagi wisatawan yang memiliki ketertarikan akan seni, tidak hanya wisatawan lokal, dari mancanegara pun sering mengunjungi rumah Albert.
Di rumah Albert bertebaran patung-patung unik dan kental bernuansa etnik. Namun Albert tidak menjual semua patung karyanya. Beberapa patung sengaja dia buat untuk koleksi pribadi. Filosofi hidup suku Dayak Kanayatn memang kerap terpatri dalam sebuah pahatan seni. (Raisya Maharani)
Pabayo, Pabayo.. Usir Roh Jahat
Seorang kakek tua terlihat tengah memeluk kayu-kayu kuning dengan uraian-uraian tali diujungnya. Kakek itu berjalan menuju beranda luar rumah betang yang tertimpa sinar matahari terik seraya meletakkan kayu-kayu kuning tersebut.
Pandangan mata saya lekat tertuju pada bambu-bambu itu. Seakan menjawab pertanyaan saya, kakek itu tersenyum ramah sambil menunjuk ke arah kayu-kayu itu . “Pabayo, pabayo.. buat usir roh jahat,” kata kakek itu.
Pabayo terbuat dari bambu kuning, diujung bambu ditempeli serutan bambu yang menjadi halus seperti rambut. Pabayo digunakan pada upacara adat pernikahan, penyembuhan penyakit secara adat dan pengusiran roh jahat.
Suku dayak memang akrab dengan mistik. Selain Pabayo, pada pembangunan rumah atau renovasi rumah Betang, ada satu ritual yang harus dilakukan oleh suku Dayak, yaitu Upacara Barema. Prosesi Barema diawali dengan prosesi Ngelantekan, yaitu berdoa yang dipimpin oleh seorang Imam di malam hari sebelum memulai pembangunan rumah di esok paginya.
Doa dipanjatkan untuk meminta ijin dan pertolongan kepada Tuhan agar pada proses pembangunan atau renovasi rumah tidak terjadi hambatan. Pada pelaksanaan Barema, para wanita memasak beras ketan atau kelud, cucur dan menyiapkan peraga atau persembahan untuk Jubata, berupa logam mata uang lama, minyak atau tengkawang dalam bahasa Ahe, dan telur ayam.
Setelah doa dan peraga siap, pembangunan dan renovasi dapat langsung dilakukan. Begitulah cara suku Dayak membangun rumah. (RM)
Sumber : http://www.gatra.com/nusantara/kalimantan/3815-pabayo-pabayo-usir-roh-jahat
__._,_.___
No Response to "Filosofi Rumah Bentang"
Post a Comment