Selamat Datang Di Blog ini Semoga Bermanfaat... Terima Kasih Kunjungannya

Kamu Suka ini?

APAKAH BETANG MEMPUNYAI FILOSOFI?

APAKAH BETANG MEMPUNYAI FILOSOFI?

Oleh Andriani S. Kusni

Dalam bedah buku “Budaya Dayak: Permasalahan Dan Alternatifnya” pada 14 Oktober 2011 di Betang Eka Tingang Bganderang,Palangka Raya, ada yang berang karena merasa dilecehkan oleh Kusni Sulang yang mengatakan bahwa ‘filosofi budaya betang’ adalah sebuah istilah salah kaprah’. ‘Bétang’’, menurut Kusni Sulang, tidak mempunyai filosofi sebagaimana halnya dengan ‘tongkonan’ di Toraja. Karena itu tidak ada yang disebut ‘filosofi huma betang’.

Mengenai hal ini, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah (selanjutnya disingkat Perda No.16/2008) menggunakan istilah ‘’falsafah hidup “Budaya Huma Betang atau Belom Bahadat”. (hlm. 49).

Yang dimaksudkan oleh Perda No.16/2008 ‘’falsafah hidup “Budaya Huma Betang atau Belom Bahadat” “adalah .perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam” (Perda No. 16/2008: 49). “Apabila telah mampu melaksanakan perilaku hidup “Belom Bahadat”, maka akan teraktualisasi dalam wujud Belom Penyang Hinje Simpei” yaitu hidup berdampingan, rukun dan damai untuk kesejahteraan bersama” ( Perda No.16/2008:49).

“Perilaku” berlangsung menurut kaidah, norma dan pedoman”. Seperti dikatakan oleh J.W.M.Bakker,S.J. kaidah, norma dan pedoman atau kriterium ini diperlukan untuk membimbing jalan kebudayaan ke arah perkembangan wajar, untuk menentukan mana yang kebudayaan otentik, mana tidak, serta prinsip mana yang harus direalisasi gar tujuan kebudayaan tercapai” (1984:12). Hal menetapkan asas tujuan mahluk-mahluk insani dan menertibkannya dalam keseluruhan adalah tugas filsafat. Filsafat kebudayaan mendekati hakekat sebagai sifat esensi manusia yang untuk sebagian mengatasi ruang dan waktu empiris, dimensi sejarah dan setempat. Dalam kata-kata J.V. Schall, S.J: “Philosophy has some very valuable, indeed essential contribution to make before there can be any adequate knowledge of what s meant by culture” (Philosophical Aspects of Culture, New School, 1957: 211, dikutip dari J.W.M.Bakker , S.J, 1984:12).

Artinya filosofi kebudayaan menyangkut masalah nilai hakiki. Nilai hakiki inilah yang merupakan sari kebudyaan yang membimbing “menetapkan asas tujuan mahluk-mahluk insani dan menertibkannya dalam keseluruhan “, termasuk di dalamnya perilaku manusia. Perilaku hanyalah salah satu pernyataan keluar dari nilai hakiki atau pandangan filosofi. Perilaku bukalah hakekat itu sendiri; Sehingga yang disebut “filosofi hidup huma betang atau belom bahadat” oleh Perda No.16/2008 adalah salah satu wajah luar atau permukaan dari filosofi, bukan filosofi itu sendiri. Wajah luar daeri yang disebut “Falsafah Hidu Huma Betang” atau Belom Bahadat” atau yang sering juga disebut sebagai “Falsafah Huma Betang” adalah “adalah .perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam”.

Keberadaan hanya di permukaan yang tidak menjadi hakekat yang disebut “Filosofi Budaya Huma Betang” ini akan lebih terlihat lagi jika dilihat dengan menggunakan pandangan antropolog suami-istri Clyde Kluckhohn dan Florence Kluckhohn dalam buku Variation in Value Orientation (1961). Menurut kerangka pndangan suami-istri Kluckhohn , semua sistem nilai budaya di dunia ini secara hakiki menyangkut lima masalah pokok dalam kehidupan manusia. Kelima masalah pokok atau hakiki itu adalah:

(1). Masalah mengenai hakekat dari hidup mausia.

(2). Masalah mengenai hakekat karya manusia.

(3). Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu.

(4). Masalah hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitar.

(5). Masalah mengeni hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya (dari: Koentjaraningrat 2004: 27-28).

Dilihat dari sudut pandang suami-istri Kluckhohn, yang disebut “falsafah hidup budaya betang” yang dirumuskan sebagai “adalah .perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam” , sama sekali tidak mencakup kelima masalah hakiki tersebut. Perumusan ini sangt jauh dari yang disebut “filosofis”. Karena perumusan demikian hanya berada di permukaan, maka ia tidak mampu menjawab pertnyaan mendasar mengapa harus berperilaku demikian? Sehingga bukan tidak mungkin permusuan yg disebut ‘’filosofis’’ demikian bisa berbalik menjadi seperti “keris makan tuan” , bagi Orang Dayak sendiri. Saya khawatir denga perulusan demikian, neo-fedalisme menjadi subur sebgai menuntut kepatuhan membuta. Di pihak lain bisa digunakan sebagai alat agresi budaya oleh penganut “besar-isme”. Dan terhadap agresi “besar-isme” ini, semua orang diminta menerimanya karena harus “toleran”, harus “taat pada hukum”. Sedangkan kenyataan menunjukkan, lebih-lebih sekarang, tidak dengan sendirinya hukum itu mencerminkan dan apalagi identik dengan keadilan (lihat: Carl Joachim Friederich, 1969). Perumusan “falsafah hidup budaya betang” yang demikian juga berkibat menghambat perkembang budaya kritis. Kritik bisa dipandang sebagai tidak “taat” pada hukum. Sehingga manusia digiring untuk menjadi alat jinak (docile tool) pihak yang berdominasi. Dalam cara kerja ia mencerminkan diri pada model “top-down”, buka “bottom up”, Maka demokrasi pun terdesak ke pojok. Padahal kalau memang yang disebut “budaya huma betang” itu suatu falsafah, filsafat itu menurut Dr. Stephen Palmquis adalah suatu “dialog rasional” (Dr. Stephen Palmquis 2007:46).

Adalah Stephen Palmquis juga yang berpendapat bahwa filsafat itu mengandung empat unsur . “Dua unsur pertama bersifat teoritis.Unsur pertama, ialah metafisika, dan pertanyaan yang menetapkan tugas metafisika adalah “Apa yang merupakan realitas puncak?”. Unsur kedua, logika. Penentuan persoalannya bisa diungkap sebagai “Bagaimana kita memahami makna kata-kata?”.

“Dua unsur terkhir bersifat praktis. Unsur ketiga dapat disebut “filsafat terapan”. Penerapan kata-kata itu mestinya menimbulkan pengetahuan; kata Inggris “science” berasl dari kata Latin sciens yang berarti “mengetahui”, sehingga kita bisa menamakan unsur ketiga ini science (ilmu)). Pertanyaan filosofis mengenai ilmu adalah “Di manakah garis tapal batas yang tepat antara pengetahuan dan kebebalan?”. Unsur keempat ialah ojtologi, yang mengajukan pertanyaan “Apa makna ada”?. Dengan menanyakan dan menjawab pertanyaan ontologis, kita berharap meningkatkan phamn kita tentang sifat dasar berbagai benda (umpamanya , Tuhan, manusia; hewan), atau tipe pengalaman berlainan (contohnya, keindahan, cinta, kematian)” (Dr. Stephen Palmquis, 2007:6). Apakah yang disebut “falsafat budaya huma betang” dalam Perda No.16/2008 seperti di atas yang bertitikberat pada “perilaku” saja, mengandung empt unsur filsafat yang dikatakan oleh Dr. Stephen Palmquis? Kalau tidak, karena unsur-unsur falsafat tidak dipenuhinya, lalu bisakah falsafah budaya huma betang” disebut sebagai falsafah?

Dalam sejarahnya, istilah “budaya betang” atau “falsafah budaya huma betang“ ini, muncul dengan latar politik pada tahun 1990-an. Waktu itu “budaya betang” dirumuskan sebagai “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Perumusan ini jauh lebih miskin lagi dari perumusan yang dikembangkan oleh Perda No.16/2008.

Pepatah “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” lebih di arahkan kepda para pendatang (waktu itu mendominasi kekuasaan di Kalteng. Penggunaan pepatah ini menyiratkan tujuan politik menjelang pemilihan Gubernur bahwa “putera daerah”lah yang mestinya berkuasa, sedangkan pihak pendatang harus menjunjung langit di mana bumi mereka pijak. Sedangkan pepatah “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” merupakan sanggahan terhadap anggapan umum pada waktu itu bahwa Orang Dayak tidak mampu menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di Kalteng. Artinya perumusan “falsafah budaya betang” pada waktu itu seperti halnya yang terdapat pada Perda No. 16/2008 sangat berlatarbelakangkan kepentingan politis.

Perumusan-perumusan yang dilakukan tanpa kajian serius atas kebudayaan dan sejarah Dayak demikianlah yang berkembang sehingga menjadi pemahaman umum (common sense), tanpa menyimak apa bagaimana sesungguhnya sari kebudayaan Dayak itu atau filosofi Manusia Dayak yang sesungguhnya. Studi dan peelitian budaya serta sejarah malangnya masih belum berkembang benar di daerah yang mempunyai 31 universitas dan perguruan tinggi ini. Dengan kata lain, telah terjadi politisasi budaya untuk kepentingan politik praktis.

Ketika ia menjadi pemahaman umum, sekali pun tidak mencerminkan sari budaya Dayak itu sendiri, maka terjadilah yang oleh Kusni Sulang “salah kaprah”. Bukan penjelasan begini yang menyudutkan tapi sebaliknya “salah kaprah” itu yang secara tidak disadari merupakan senjata budaya penyudutan masyarakat Dayak. Ketersudutan makin dipermudah oleh kebingungan menghadapi perkembangan masyarakat Kalteng. Ketersudutan yang kian menjadi, membuat masyarakat Dayak sangat sensitif dan gampang mengamuk serta mendekat pada jalan pintas bernama kekerasan, dan berbagai bentuk eskapisme. Masyarakat secara umum kehilangan orientasi.

Di hadapan keadaan begini, maka Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah memandang perlunya ada suatu politik kebudayaan yang tanggap dan aspiratif untuk penduduk yang sangat heterogen.. Malangnya kebudayaan dianggap tidak penting dan dipahami secara dangkal di daerah ini. Sedangkan kebudayaan pada hakekatnya adalah masalah pembangunan manusia. Pembangunan dilakukan oleh dan untuk manusia. Terabaikannya masalah kebudayaan, melahirkan yang disebut oleh Kusni Sulang sebagai “kemapanan di atas kerusakan”. Dari bedah buku “Budaya Dayak: Permasalahan Dan Alternatifnya’’ pada 14 Oktober 2011 lalu, gejala-gejala di atas memperagakan diri dengan jelas.

Apakah betang sebagai sebuah bangunan mempunyai filosofis?

Secara arsitektur, betang dilahirkan oleh untuk pemenuhan kepentingan. Bangunan yang dibngun untuk menghadapi bahaya banjir;, ancaman binatang buas, ancaman kayau. Bangunan begini dari sudut pandang arsitektur disebut bangunan vernakuler. Di samping betang dalam sebuah kampong, léwu, terdapat bangunan-bangunan individual . Berbeda dengan tongkonan di Tanah Toraja yang secra arsitektur disebut rumah tradisional. Rtinya bentuk tongkonan mengandung konsep kosmis Manusia Toraja yag memandang kosmos terdiri dari tiga bagian: Dunia tas, dunia tengah dan bawah. Karena betang tidak mengdung konsep kosmis begini maka betang tidak bisa disebut rumah tradisional Dayak.

Lalu bagaimana kemudian?

Bisa saja istilah “budaya betang” dipertahankan, tapi ia harus diisi dengan pengertian baru, sehingga tidak terjadi salah kaprah. Yang lebih kena barangkali Budaya Dayak dan Filosofi Dayak.Untuk memastikn isinya, penelitian sungguh-sungguh, menyusunnya secara sistematik, merupakan pekerjaan medesak. “Kira-kira”, “katanya”, tidak memberikan makna nyata dan tidak bisa dijadikan landasan untuk membangun Kalteng jadi bermutu. “Kira-kira”, “katanya”, asing dari kenyataan sesungguhnya, membuat kita bangun tidur masih di tempat semula. Setelah penelitian, mensistematikkannya, menganalisanya dengan tajam, diminta pula kerajinan dan keberanian berpikir. Masalah-masalah hari ini lebih memerlukan kerja otak yang keras daripada bersandar pada ketajaman mandau. Bagaimana menggunakan kekuasaan di tangan pun meminta kendali otak dan komitmen keadilan manusiawi. Kemudian, tidak kalah penting bahwa dapatan itu dimasyarakatkan. Untuk itu, kita perlu berani mengatakan apa yang oleh orang lain tidak dikatakan. Mengubah common sense menjadi good sense, re-humaisasi untuk transformasi sosial pembebasan jauh lebih utama dari citra semu. Apalagi kita memang hidup dalam apa yang oleh antropolog Perancis Mac Augé disebut sebagai “la guerre de l’image” (perang citra). ***

Seni Yang Mengandung Filosofi

Minggu, 23 Oktober 2011 10:53

PrintPDF

Simbol kehidupan (Foto Raisya Maharani)

Seniman itu bernama Albertus – lelaki paruh baya yang intelek. Albertus memegang jabatan sebagai penanggungjawab Rumah Betang. Segala sesuatu peijinan tamu yang mendatangi Rumah, renovasi rumah atau pembongkaran rumah berada dalam wewenang Albertus.

Profesinya sebagai seniman sudah dia tekuni dari sejak umur empat tahun, bakatnya itu mengantarkan dia kepada sejumlah karya-karya eksotik yang ditaksir oleh berbagai pengunjung. Dia memoleskan setiap aliran naruralis dan sureliasmenya kedalam setiap pahatan patung-patung kayunya.

Albert --begitu sapaan akrabnya-- tak hanya memahat, tapi dia juga menghidupkan isoteris dari karya-karyanya. Isoteris adalah suatu nilai yang terkandung didalam benda-benda seni berupa filosofi atau makna dari benda tersebut. Dinding ruang tamu rumah Albert, dihiasi berbagai macam patung dengan beragam bentuk, ukuran dan warna.

Dia membuat Gunamp – perisai yang digunakan dalam perang antara suku Dayak dan Madura, setiap ukiran dalam Gunamp itu bermakna bahwa akar-akar pada perisai ini saling berhubungan dan bekerjasama, “dan seperti itu jugalah manusia seharusnya dapat bekerjasama dengan lainnya” kata Albert.

Disamping Gunamp, tergantung patung yang berkepala menyerupai belalang, Albert menunjuknya, “ Kepala Belalang, ini mengandung arti bahwa seseorang yang memiliki badan yang tidak utuh atau realis, tetapi jiwanya dan imannya pergi meninggalkan jasadnya. Lalu disebelah pojok sana, ada ukuran kayu Daun Jajarat yang mengandung isoteris yakni menjaga jarak aman untuk menolak roh jahat yang hendak masuk.”

Saya mendongak keatas kusen pintu, dimana ada patung yang menurut saya aneh, karena berbentuk kepala dan badan saja tanpa tangan dan kaki. “Itu artinya adalah orang yang tidak tahu asal-usulnya, tidak tahu akan nilai kehidupan dan hanya mencari kepuasan semata. Karena itu bentuk dia tidak jelas dan realistis selakyaknya manusia utuh,” kata Albert. (RM)

http://www.gatra.com/nusantara/kalimantan/3814-seni-yang-mengandung-filosofi

Satu Jiwa, Makna Bagi Manusia

Minggu, 23 Oktober 2011 10:50

0 Komentar

E-mailPrintPDF

Satu Jiwa (Foto Raisya Maharani

Salah satu patung kesayangan Albertus, seniman suku Dayak Kayanatn, adalah sebuah patung manusia berderet-deret. Oleh Albertus, patung tersebut diberi nama Satu Jiwa. Patung yang dipajang di rumahnya itu juga

banyak menarik para pecinta seni yang pernah mampir ke rumah Albertus.Patung itu tersusun dari ukiran-ukiran manusi dalam ukuran sangat kecil yang begitu banyak, sambung menyambung hingga menjulang tinggi keatas. Makna yang dari rangkaian manusia itu, menurut Albertus, adalah tiga hubungan erat dalam kehidupan manusia adalah hubungan antar sesama manusia, manusia dengan tuhan dan manusia dengan alam.

Rangkaian miniatur-miniatur manusia itu berkaitan satu sama lain dan terus menjulang tinggi hingga meruncing diatasnya. “Inilah patung satu Jiwa. Sekumpulan orang-orang yang terkait satu sama lain menggambarkan kehidupan suku Dayak Kanayatn, yang tidak bisa lepas dari hubungan antar sesama dan juga dengan tuhan,” ucap Albert, menutup pertemuan kala itu.

Makna dalam patung buatan Albert itu sama dengan prinsip hidup suku Dayak dalam mendirikan rumah betang: saling menolong dengan sesama dan memperkuat azas kekeluargaan. (RM)

http://www.gatra.com/nusantara/kalimantan/3813-satu-jiwa-dan-makna-bagi-manusia

[AMAN] Tentang Rumah Betang di Majalah Gatra

Filosofi Rumah Bentang

Filosofi Rumah Betang berkaitan erat dengan azas kekeluargaan yang diciptakan oleh leluhur suku Dayak Kanayatn di Rumah Betang ini. Menurut cerita dari leluhur mereka, dahulu semua orang Kanayatn tinggal secara terpisah satu sama lainnya, sangat sulit berhubungan dan memantau keadaan masing-masing.

Orang tertua kanayatn merasa perlu memperhatikan sanak saudara-saudaranya. Untuk mempertemukan semua anggota keluarga yang terpisah-pisah, terbit sebuah ide. Yakni membangun rumah agar mempermudah hubungan antar sesama anggota yang sebelumnya berjauh-jauhan. Rumah itu dibuat memanjang untuk menampung jumlah keluarga yang seiring waktu semakin bertambah, saat itulah penamaan Rumah Panjang atau Rumah Betang tercipta.

Seiring berjalannya waktu, mereka menyadari pentingnya membangun sebuah hubungan antar sesama manusia, sesuai dengan prinsip hidup leluhur mereka yaitu saling membantu sesama manusia – sebuah nilai kemanusian yang bersahaja. Mereka mulai menciptakan aturan-aturan tentang tata krama kehidupan bermasyarakat yang baik, itulah awal mula terciptanya hukum adat.

Hingga saat ini, azas kekeluargaan itu masih melekat dalam kehidupan keluarga yang sekarang menghuni Ruah Betang. Secara garis besar, semua peghuni rumah betang merupakan sebuah keluarga besar yang berasal dari satu pertalian keturunan darah yang sama.

Keluarga yang besar ini memiliki hirarki adat yang tersusun kedalam struktur lembaga adat Dayak Kanayatn. Ada tetua adat yang mengetahui semua hal yang berkaitan dengan budaya rumah betang, ada juga penanggung jawab rumah betang, kepala desa, sekretaris desa semuanya juga berkumpul menjadi satu didalam Rumah Betang. (RM)

Rumah Betang, Rumah Kehidupan Suku Dayak

Dalam sekali pandang, bangunan itu tidak tampak seperti sebuah rumah. Begitu besar, panjang, dan menjulang dari permukaan tanah pasir yang ditopang oleh tiang-tiang pondasi setinggi satu meter. Terasnya luas dan panjang seperti sebuah dermaga di tepian laut. Sejurus kemudian terdengar percakapan ramai berbahasa Ahe, bahasa suku Dayak Kanayatn.

Sekumpulan anak-anak menuruni tangga dan mengajak saya untuk menaiki bagian atas bangunan itu. Sebuah rumah kayu lebar dan sangat panjang berdiri kokoh di depan mata. Inilah Rumah Panjang, atau yang disebut Rumah Betang, ciri khas suku Dayak. Panjangnya mencapai 186 meter dan terdapat 36 kusen pintu setelah melewati teras, masing-masing kusen pintu adalah pintu masuk rumah dari masing-masing kepala keluarga.

Mereka menyebut masing-masing rumah keluarga berdasarkan nomor pintu rumah. “Pintu satu, itu pintu keluarga yang pertama, pak Albertus penghuninya,” kata Paulus Adi, yang mengantarkan saya menuju suku Dayak Kanayatn. Untuk menuju ke lokasi, diperlukan waktu 3 jam dari kota Pontianak dan sampai ke desa Sahamp, kecamatan Sengah Temila tempat Rumah Betang ini berdiri.

Rumah Pak albertus terletak di pintu satu. Salah satu hal yang menjadi daya tarik dari Rumah Betang adalah kehidupan yang berjalan didalamnya. Ketika masuk ke dalam, masih ada beranda bagian dalam rumah sebelum masuk ke dalam pintu masing-masing rumah satu keluarga. Keramaian rumah tak kalah dengan keraiman pasar pagi. Terlihat pula, modernitas telah masuk kedalam kehidupan Rumah Betang yang dominan masih tradisional ini.

Di musim-musim kemarau seperti Agustus, penghuni rumah betang sibuk berladang, membuka ladang, menebar benih padi dan menggarapnya. Dia siang hari, para wanita dan lansia kerap membuat anyaman berbentuk persegi panjang yang dipakai untuk atap dan terbuat dari daun kelapa dan anyaman untuk tampah beras. Mereka menggunakannya untuk mengganti atap rumah yang sudah mulai rusak.

Asas kekeluargaan Kanayatn tak hanya tersirat dari Rumah Betang saja, tetapi tersimpan dalam setiap isoteris karya seni pahat patung kayu yang digeluti oleh seorang seniman yang tinggal di pintu satu. Semua patung kayu, mencerminkan keluhuran budaya dan kesahajaan Kanayatn.

Rumah Albertus, seorang seniman suku Dayak Kanayatn yang juga memegang jabatan sebagai penanggungjawab Rumah Betang, menjadi tempat kunjungan bagi wisatawan yang memiliki ketertarikan akan seni, tidak hanya wisatawan lokal, dari mancanegara pun sering mengunjungi rumah Albert.

Di rumah Albert bertebaran patung-patung unik dan kental bernuansa etnik. Namun Albert tidak menjual semua patung karyanya. Beberapa patung sengaja dia buat untuk koleksi pribadi. Filosofi hidup suku Dayak Kanayatn memang kerap terpatri dalam sebuah pahatan seni. (Raisya Maharani)

Pabayo, Pabayo.. Usir Roh Jahat

Seorang kakek tua terlihat tengah memeluk kayu-kayu kuning dengan uraian-uraian tali diujungnya. Kakek itu berjalan menuju beranda luar rumah betang yang tertimpa sinar matahari terik seraya meletakkan kayu-kayu kuning tersebut.

Pandangan mata saya lekat tertuju pada bambu-bambu itu. Seakan menjawab pertanyaan saya, kakek itu tersenyum ramah sambil menunjuk ke arah kayu-kayu itu . “Pabayo, pabayo.. buat usir roh jahat,” kata kakek itu.

Pabayo terbuat dari bambu kuning, diujung bambu ditempeli serutan bambu yang menjadi halus seperti rambut. Pabayo digunakan pada upacara adat pernikahan, penyembuhan penyakit secara adat dan pengusiran roh jahat.

Suku dayak memang akrab dengan mistik. Selain Pabayo, pada pembangunan rumah atau renovasi rumah Betang, ada satu ritual yang harus dilakukan oleh suku Dayak, yaitu Upacara Barema. Prosesi Barema diawali dengan prosesi Ngelantekan, yaitu berdoa yang dipimpin oleh seorang Imam di malam hari sebelum memulai pembangunan rumah di esok paginya.

Doa dipanjatkan untuk meminta ijin dan pertolongan kepada Tuhan agar pada proses pembangunan atau renovasi rumah tidak terjadi hambatan. Pada pelaksanaan Barema, para wanita memasak beras ketan atau kelud, cucur dan menyiapkan peraga atau persembahan untuk Jubata, berupa logam mata uang lama, minyak atau tengkawang dalam bahasa Ahe, dan telur ayam.

Setelah doa dan peraga siap, pembangunan dan renovasi dapat langsung dilakukan. Begitulah cara suku Dayak membangun rumah. (RM)

Sumber : http://www.gatra.com/nusantara/kalimantan/3815-pabayo-pabayo-usir-roh-jahat

No Response to "APAKAH BETANG MEMPUNYAI FILOSOFI?"

Postingan Popular

KOMPAS News Regional

Berita Lingkungan Nasional

Lowongan Kerja di Kalimantan Tengah