MELIHAT TEMPAT BUDAYA LOKAL
Tanggal 14 Oktober 2011, pukul 16.00 petang, bertempat di Betang Eka Tingang Nganderang (Betang Tempat Enggang Bersenandung), Jalan D.I.Panjaitan, Palangka Raya, Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah (LKD-KT) dan Borneo Institute (BIT) akan membedah buku ‘’Budaya Dayak:Permasalahan dan Alternatifnya” (BDPA).
Buku setebal 448 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Bayu Media, Malang ini merupakan himpunan tulisan dari tujuh penulis , yaitu TT.Suan, Mgr.Dr. A.M. Sutrisnaatmaka MSF, Andriani S. Kusni, Abdi Rahmat, Erwin Endaryanta, Pulus Alfons Y.D, dan Kusni Sulang. Bertindak sebagai pembedah adalah Goenawan Mohamad dari Majalah Tempo Jakarta, Iman Budhi Santosa, budayawan dari Yogyakarta, Pastur Frans dari Keuskpupan Palangka Raya dan Yunedi Jagau dari Borneo Institute Palangka Raya. Buku yang diantar oleh Gubernur Kalteng . Teras Narang, SH ini seperti ditunjukkan oleh judulnya menjadikan masalah-masalah yang terdapat dalam masyarakat Kalimantan Tengah yg majemuk, terutama masalah kebudayaan. Mengenal permasalahan merupakan hal yang sangat penting. Sebab tanpa mengenal permasalahan akan mustahil permasalahan bisa diselesaikan. Karena itu pertanyaan dan bertanya mempunyai nilai tersendiri yang tidak bisa diabaikan bahkan patut dijadikan suatu budaya dalam masyarakat. Bertanya bisa dilakukan jika pertama-tama jika mampu membaca keadaan. Keadaan bisa dibaca tepat jika penelitian dan pengkajian dilakukan. Setelah mengenal keadaan, penyelesaian soal bisa diharapkan akan didapat. Sebab hanya yang mencarilah yang akan mendapat, hanya yang mengetuk akan dibuka.
Unsur penting luar biasa dalam penelitian adalah kejujuran. Kesanggupan mengatakan hitam pada yang hitam, putih pada yang putih sebagaimana adanya hal ikhwal itu.Hanya saja kebenaran sering menyakitkan sehingga menakutkan untuk dikatakan. Penulis-penulis antologi esai ini, berusaha mengatakan apa yang tidak dikatakan oleh banyak orang, tanpa pretensi bahwa penglihatan , pertanyaan dan tawaran solusi yang diajukan sebagai mutlak benar.
Salah satu permasalahan utama yang diajukan adalah dalam masyarakat Kalteng yang majemuk seperti sekarang dan perobahan komposisi demografis ini akan terus terjadi. Dalam keadaan demikian, maka pertanyaan apakah yang disebut Budaya Kalteng Beridentits Kalteng merupakan masalah yang mengedapan urgensinya untuk dijawab tuntas.
Masalah kebudayaan sarinya adalah masalah wacana, wawasan, pola pikir. Wacana, wawasan atau pola pikir. Ia kemudian merembet dan mempengaruhi perilaku dan pilihan politik, sikap dalam berkehidupan didalam masyarakat (di Kalteng). Dengan demikian kebudayaan dengan sarinya yang demikian menjadi dasar hidup bermasyarakat di Kalteng. Jika diluaskan, menjadi dasar bagi hidup berbangsa, bernegeri dan bernegara. Pertanyaan apa bagaimana Budaya Uluh Kalteng sampai sekarang masih belum terpecahkan. Belum terjawab. Yang berlangsung smpai sekarang adalah budaya ghetto, budaya etnik penduduk yang sangat majemuk. Masing-masing tidak tersambung satu dengan yang lain. Sehingga dalam keadaan begini yang dipraktekkan memperlihatkan sifat agressif, dan di pihak lain ada yang defensif. Keragaman tidak dipandang dan tidak diperlakukan sebagai suatu kekayaan untuk membangun Budaya Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng. Akibatnya budaya ghetto berkembang subur yang kemudian mencerminkan diri dalam budaya politik di daerah ini. Tercermin, terutama pada komposisi gubernur dan wakil gubernur atau dalam isi kampanye semasa pemilu. Padahal semestinya budaya-budaya etnik yang majemuk yang terdapat bersama kemajemukan komposisi demografis (di Kalteng), mestinya bisa menjadi bahan mentah kaya bagi pembentukan Budaya Uluh Kalteng, sebagaimana Uluh Itah (Orang Dayak) dahulu menyerap budaya-budaya lain yang masuk ke kalangan Uluh Itah. Seperti juga etnik-etnik lain menyerap budaya-budaya dari luar untuk pembentukan budaya baru dengan kadar lebih berkembang maju. Budaya Kaharingan sebenarnya tidak lain dari budaya baru dibuahkan oleh serapan-serapan terhadap budaya yang datang seperti budaya Tionghoa, Arab, India, Kristianisme, dan lain-lain. Bertahan pada budaya ghetto tidak bakal membawa kemajuan, tidak lain dari tutup pintuisme yang tidak nalar. Beridentitas tidak sama dengan tutup pintu-isme atau sektarisme. Penyerapan dan saling serap tidak lain dari suatu dialog antar budaya. Budaya lokal, budaya etnik adalah bahasa yang digunakan masing-masing dalam dialog antar budaya itu untuk memperkaya diri dan melahirkan sesuatu yang baru, tanggap keadaan dan tanggap zaman. Modern adalah istilah lain bagi modernitas dalam arti hakiki.
Dengan apa penyerapan itu dilakukan sehingga tidak lepas akar, agar bisa tanggap keadaan dan aplikatif, agar kedirian sipenyerap tidak hilang? Penyerapan itu dilakukan dengan budaya diri sendiri, dengan pemahaman keadaan dan perkembngannya. Orang yang tidak menguasai budaya lokal, apalagi asing dari budaya diri sendiri, tidak bakal mampu melakukan penyerapan. Yang terjadi dengan orang-orang begini adalah keterasingan dari diri sendiri, menyontek, meniru, menjadi epigoinis. Epigonis selalu berukuran kecil tidak mungkin melampaui yang ditiru.Kerdil tanpa kreativitas. Angkatan yang tidak mengenal budaya diri sendiri, lepas dari budaya ibunya, akan menjadi angkatan epigon dengan segala akibatya seperti yang kita saksikan sekarang di Kalteng. Angkatan yang akan menjadi angkatan embel-embel orang lain, penuh dengan komplek, terutama kompleks rendah diri yang kadang-kadang diselubungi dengan kepongahan.
Budaya baru yang lahir dari kemampuan menyerap budaya-budaya luar, akan terjadi melalui pemburan alami. Dalam pmbauran ini saling belajar dan saling serap terjadi, dan bersama-sama secara alami pula dalam pergaulan membaur ini, budaya baru yang tanggap keadaan dan tanggap zaman akan dilahirkan bersama. Melalui pembauran alami ini, ‘’ saling makan’’, agresivitas penaklukan tidak terjadi. Yang terjadi adalah saling belajar, saling menyerap keunggulan dengan demikian keragaman menjadi modal sangat berharga bagi penciptaan budaya baru yang tanggap keadaan, apresiatif dan tanggap zaman.
Saya menduga lahirnya kebudayaan Indonesia yang benar-benar Indonesia pun tidak lepas dari peran budaya lokal. Budaya lokal atau budaya kampung halaman merupakan dasar bagi mewujudkan budaya nasional yang republikan dan berkeindonesiaan sebagai rangkaia nilai. Republikan mengndung nilai kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan. Sedangkan keindonesiaa, mengadung sari utama yaitu kebhinnekaan. Kebhinnekaan yang dirangkum oleh nilai republikan. Sehingga Republik dan Indonesia tidak lain dari suatu program politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dasar nilai yang menjadi perekat kita dalam berbangsa, bernegeri dan beregara. Sayangnya program agung ini sangat diabaikan hari ini, terutama oleh pemangku kekuasaan. Budaya lokal, budaya kampung halaman dengan orientasi yang republikan dan berkeindonesiaan demikian sama sekali tidak bertentangan dengan budaya nasional. Karena itu menjadi warga suatu etnik tidak bertentangan dengan menjadi warga negara Republik Indonesia. Juga tidak bertentangan dengan menjadi anak manusia warga dunia. Karena dalam budaya lokal, budaya nasional terdapat nilai-nilai universal. Lokal dan nasional hanyalah bentuk bagi nilai universal budaya. Sebab senyatanya kebudayaan itu majemuk tapi kemanusiaan itu tunggal. Ketunggalan atau universlitas itu tidak lain dari kamanusiaan.
Persoalan lokalitas, nasionalitas dan universalitas dalam budaya inilah yang menjadi tema utama buku ‘’Budaya Dayak : Permasalahan Dan Alternatifnya” yang akan dibedah oleh para budayawan dari Jawa dan Kalteng pada 14 Oktober 2011. Bentuk upaya meletakkan dasar Budaya Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng, paling tidak mengajak semua Uluh Kalteng mempertanyakan dasar budaya bagi Kalteng .***
KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah (LKD-KT).
__._,_.___
No Response to "MELIHAT TEMPAT BUDAYA LOKAL"
Post a Comment