Selamat Datang Di Blog ini Semoga Bermanfaat... Terima Kasih Kunjungannya

Kamu Suka ini?

Emansipasi dalam Masyarakat Dayak

Emansipasi dalam Masyarakat Dayak

Andriani S. Kusni *)



SDC15391.JPG

“Suara perempuan” dalam spanduk demonstrasi menentang pernyataan Prof. Thamrin Amal Tomagola dalam sidang kasus Nazriel Ilham (Ariel-Peter Pan). Lokasi Bundaran besar Palangka Raya, 08/01/2011 (Foto: Andriani S. Kusni)





R.A. Kartini di negeri ini dipandang sebagai pahlawan kesetaraan perempuan dan lelaki sehingga hari kelahirannya, 21 April, ditetapkan sebagai Hari Emansipasi dan dirayakan secara nasional. Dalam masyarakat Jawa yang feodal, kedudukan lelaki dan perempuan memang berbeda. Perbedaan yang antara lain dicerminkan dalam ungkapan “ke sorga ikut, ke neraka terbawa” (menyang swarga nunut, menyang neraka katut). Perempuan juga dilukiskan sebagai “konco wingking” , teman di belakang atau digambarkan sebagai “lembang rumah”. Dengan istilah lain, perempuan berstatus sebagai obyek belaka. Obyek dari lelaki. Sesuai dengan status demikian, bahasa Jawa menyebut perempuan dengan kosa kata wanita (dari bahasa Sansekerta, vanidh berarti “ yang di….”). Kata perempuan juga dari bahasa Sankserta berarti “yang mempunyai kemampuan”.



Sesuai dengan karakter rezimnya yang militeristik neo-feodal, yang memerosotkan Republik Indonesia menjadi sebuah imperium atau kerajaan model kerajaan Mataram, Orde Baru Soeharto menggunakan istilah wanita, seperti misalnya pada Dharma Wanita, untuk organisasi istri-istri PNS. Menurut konsep Dharma Wanita Orde Baru, perempuan berfungsi sebagai “pendamping suami dan ibu rumah tangga”. (Ninuk Mardjana Pambudy, “Pemenuhan Asa Kartini”, Harian Kompas, Jakarta, 16 April 2010).



Agar lepas dari kooptasi negara, maka kata perempuan kembali digunakan oleh Gerakan Perempuan. Dalam masyarakat feodal Jawa, di usia remaja, perempuan-perempuan masuk pingitan. R.A Kartini tidak lepas dari nasib tersebut. Dari ruang pingitan ini kemudian, R.A. Kartini melakukan surat-menyurat dengan para sahabat Belandanya di negeri Belanda, menyuarakan pikiran dan perasaannya yang terkungkung tapi ingin kebebasan. Surat-menyurat ini kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Mimpi-mimpi dan pikiran-pikiran dalam surat-surat tersebut dipandang sebagai terobosan baru bagi Indonesia lalu atas dasar itu R.A. Kartini diberi kedudukan sebagai pahlawan kesetaraan perempuan Indonesia.



Tanpa mengurangi nilai-nilai pikiran dan mimpi tersebut, agaknya pengertian Indonesia di sini lebih kena terutama Jawa karena keadaan masyarakat Jawa dan masyarakat di pulau-pulau lain tidak sama. Ada masyarakat yang tidak mengenal apa yang dialami oleh R.A. Kartini. Tapi keadaan masyarakat tersebut kurang atau bahkan tidak dikenal oleh elite negeri ini yang berpusat di Jawa. Untuk waktu lama sejarah Indonesia bersifat sangat Jawa Sentris. Apakah elite di Jawa sampai sekarang cukup mengenal daerah-daerah lain? Sebuah tanda tanya besar, apalagi tidak sedikit kalangan elite lebih mengenal Amerika dari Indonesia sendiri. Jawa Sentris inipun sampai sekarang masih berlangsung misalnya dalam hal pembangunan.



Untuk menyusun sejarah Indonesia yang benar-benar sejarah Indonesia, kegiatan para elite lokal terutama para cendekiawannya, dengan menulis sejarah lokal dan keadaan masyarakat lokal sangat perlu. Dalam hal Gerakan Kesetaraan, gerakan jender, karena kurangnya pengenalan mereka yang menyebut diri kaum feminis, maka teori yang ditawarkan untuk negeri kita adalah apa yang diambil dari Barat. Tanpa menolak penggunaan teori-teori feminisme dari Barat, apakah tidak selayaknya juga melakukan penelitian untuk mengenal bagaimana konsep masyarakat-masyarakat lokal tentang status perempuan dalam masyarakat? Jadi tidak hanya mengunyah-ngunyah hasil bacaan dari luar. Yang diperoleh dari luar hanya dijadikan acuan dan bandingan. Ilmiah tidaknya karya tidak ditandai oleh deretan kutipan buku dari luar di catatan kaki (foot note), tapi terutama rasuk tidaknya yang diucapkan dengan kenyataan. Mengunyah-ngunyah ajaran dan bacaan tanpa daya kritik, gampang menggiring kita ke penaklukan atau penjajahan intelektualitas secara sukarela, bahkan dengan penuh kebanggaan, menduga tingkat intelektualitas diri sudah sangat tinggi dengan deretan catatan kaki itu. Padahal kita akan tidak lebih dari “cendekiawan catatan kaki” jika menggunakan istilah Arief Budiman. Menyadari hal ini, Saparinah Sadli juga mengingatkan “pentingnya mengembangkan teori feminisme yang khas Indonesia” (lihat , Saparinah Sadli, “Berbeda Tapi Setara”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010). Keinginan Saparinah ini hanya mungkin jika riset kontinyu terhadap masyarakat kita di seluruh wilayah tanah air dilakukan. Jadi tidak berangkat dari asumsi subyektif. Lebih baik lagi jika dibarengi dengan aktivisme.



Dalam masyarakat Dayak Kalteng, teurtama Uluh Ngaju, kedudukan perempuan dalam masyarakat dilukiskan oleh Tjilik Riwut sebagai berikut: “Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama.Peran serta dalam tugas kemasyarakatan, berperang, mengurus rumah tangga dan mencari nafkah boleh dilakukan siapapun, baik laki-laki maupun perempuan asalkan mau dan mampu. Begitu juga dalam hal pembagian warisan, baik warisan dalam bentuk materi maupun dalam bentuk kemampuan spiritual dan kesakitan yang diwariskan berdasarkan turunan darah tidak ada perbedaan, laki-laki dan perempuan. Perbedaan hanya pada fungsi alamiah dalam bentuk fisik antara laki-laki dan perempuan itu sendiri” (Tjilik Riwut, 2003:100-1001). Dalam soal warisan, bahkan anak perempuan mendapatkan jumlah lebih besar dari lelaki. Sebagai tanda terimakasih orangtua kepada anak perempuan mereka yang telah mengurus orangtua lebih tekun dan lama dari anak-anak lelaki. Rumah tangga, dipimpin bersama oleh ayah dan ibu. Segalanya diputuskan bersama. Secara ekonomi, ibu tidak tergantung pada ayah. Barangkali hal ini merupakan dasar ekonomi bagi perempuan untuk setara dengan lelaki (suami). Sementara Hukum Adat sangat menjunjung perempuan dengan menetapkan perlindungan kuat pada perempuan melalui ketentuan-ketentuan adat. Dengan status perempuan demikian, orang tua tanpa segan melepaskan anak perempuan mereka untuk pergi ke tempat lain, misalnya bersekolah. Kesetaraan ini juga nampak di medan perang, dengan adanya pangkalima-pangkalima perang perempuan yang menggentar lawan begitu mendengar namanya baik pada zaman betang (misalnya Nyai Bahandang Balau), maupun pada masa perang melawan Belanda atau waktu mendirikan provinsi Kalteng. Pada waktu zaman perang gerilya melawan Belanda, ibu Tjilik Riwut pun turut bergiat seperti halnya perempuan-perempuan lain di Katingan. Kalau di negeri-negeri yang dikuasai oleh feodalisme, perempuan dihimpit oleh “tiga gunung besar” (kekuasaan lelaki, raja feodal, dan imperialisme), perempuan di masyarakat Dayak Ngaju tidak mengalami himpitan demikian.



Tapi status kesetaraan demikian nampaknya mengalami pergeseran. Terutama sejak masa rejim Orde Baru yang secara sistematik menghancurkan Masyarakat Adat dan lembaga-lembaganya dengan meng-golkarkan dan melakukan pendekatan politik SARA, ditambah lagi pengaruh agama-agama baru sehingga perubahan komposisi demografis Kalteng dan marjinalisasi masyarakat Dayak semakin nyata. Dari segi kesetaraan, boleh dikatakan masyarakat Dayak Ngaju tidak berjalan maju tapi memperlihatkan tanda-tanda kemunduran – walaupun secara budaya masih belum pupus. Sisa-sisa budaya kesetaraan ini patut dikembangkan karena perempuan tidak lain dari “penyangga separuh langit”. Tidak ada kemerdekaan sesungguhnya jika “penyangga separuh langit “ ini dibelenggu. Dan benarkah Kalteng sungguh-sungguh merdeka hari ini? Terbitnya buku Sejarah Perempuan Kalteng (Dayak) merupakan sumbangan berharga dalam melihat sejarah kesetaraan perempuan-lelaki di provinsi yang sejarahnya banyak tidak dikenal baik oleh banyak orang, termasuk kalangan elitenya.



*) Perancang & pembuat perhiasan, penulis lepas, pengasuh ruang kebudayaan di HU Palangka Post, SekJend Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah

No Response to "Emansipasi dalam Masyarakat Dayak"

Postingan Popular

KOMPAS News Regional

Berita Lingkungan Nasional

Lowongan Kerja di Kalimantan Tengah