Revisi UU Pokok Agraria untuk Hindari Kutukan
Kamis, 13 October 2011
Studi banding jangan ke luar negeri, tetapi ke masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia.
Guru
Besar Hukum Agraria UGM Maria Sumardjono minta DPR luruskan makna
‘agraria’ dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Foto: SGP
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gajah Mada (UGM) Maria Sumardjono meminta agar DPR meluruskan makna ‘agraria’ dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Isi undang-undang
ini seakan mengartikan agraria sebagai tanah saja, karena mayoritas
pasalnya hanya berbicara tanah. Padahal, makna agraria yang sebenarnya
juga mencakup air dan bahkan ruang angkasa.
Anggota Komisi II dari PDIP Budiman Sudjatmiko setuju dengan pendapat pakar bahwa makna agraria bukan sekedar tanah, tetapi juga air dan ruang angkasa. Atau bila diperluas dapat diartikan sebagai Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di bumi Indonesia. Ia menilai pentingnya upaya merevisi UU Pokok Agraria ini, karena persoalan agraria sangat berkaiatan dengan hajat hidup orang banyak.
Bahkan, lanjut Budiman, konflik-konflik horizontal antar agama, ras dan suku itu hanya selubung dari konflik penguasaan konflik sumber daya alam yang ada. "Saya tak percaya konflik-konflik horizontal itu berdiri sendiri. Ini semua kan terjadi di wilayah-wilayah yang memiliki SDA yang melimpah. Misalnya, di Poso atau Kalimantan," ujarnya di ruang rapat Komisi II, Rabu (12/10).
Budiman mencontohkan konflik yang terjadi di Afrika. Ia menyebut istilah Natural Resources Curse atau kutukan sumber daya alam. "Mereka yang hidup di SDA yang sangat bagus, seakan dikutuk untuk selalu berkonflik," ujar mantan Aktivis Gerakan Kiri ini.
Karenanya, revisi UU Pokok Agraria ini sangat diperlukan untuk menghindari itu. Dengan adanya UU Pokok Agraria yang komprehensif diharapkan konflik-konflik penguasaan SDA itu dapat dihilangkan, atau minimal dapat diminimalisir. "Undang-undang ini harus bisa diperkuat agar bisa menjawab persoalan-persoalan konflik itu," tuturnya.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (Sekjen KPA) Idham Arsyad mengatakan sebelum melakukan revisi sebaiknya DPR mengaji ulang dan menginventarisasi struktur-struktur kepemilikan yang timpang. Dari situ, maka akan bisa diketahui apa yang bisa dilakukan oleh DPR, apakah perlu merevisi UU Pokok Agraria itu atau sekedar menyelesaikan konflik agraria yang ada.
“Ini harus dikaji secara mendalam, jangan sampai revisi undang-undang ini justru dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan liberal,” ujar Idham.
Guru
Besar Hukum Agraria Unversitas Indonesia (UI) Arie Sukanti
Sumantri-Hutagalung mempersilakan bila DPR ingin merevisi UU Pokok
Agraria ini. Namun, dia menilai ada beberapa
pasal yang perlu dipertahankan untuk menjamin hak-hak rakyat Indonesia.
“Saya rasa Pasal 1 sampai Pasal 19 UU Pokok Agraria itu harus
dipertahankan,” tuturnya.
Salah
satu isi ketentuannya adalah kepemilikan tanah hanya oleh warga negara
Indonesia. Hal tersebut perlu dipertahankan karena orang-orang yang
berlatar belakang ekonomi kerap mempertanyakan dan berusaha mengubah
ketentuan ini. “Kenapa orang asing nggak boleh punya tanah? Toh, tanah ngga bisa dibawa ke luar negeri. Ini kata teman-teman saya dari ekonomi,” tuturnya.
Selain
itu, Prof. Arie juga memberi pesan kepada DPR yang sudah mulai membahas
revisi UU Pokok Agraria ini. Ia menilai tak ada negara yang pantas
menjadi rujukan Indonesia dalam persoalan agraria ini, karena UU Pokok
Agraria sendiri merupakan ‘asli’ Indonesia. “Studi bandingnya nanti ke
masyarakat hukum adat. Rujukannya ya ke situ,” pungkasnya.
Penulis : Ali
No Response to " "
Post a Comment