Selamat Datang Di Blog ini Semoga Bermanfaat... Terima Kasih Kunjungannya

Kamu Suka ini?

Tanah Kita Tidak Lagi Berbendera Merah Putih



Kegaduhan tidak terkira terjadi ketika pulau Sipadan dan pulau Ligitan didapatkan secara mudah oleh Malaysia dari pangkuan Ibu Pertiwi. Demikian juga ketika karang atol Ambalat disatroni oleh kapal patroli Malaysia yang secara lancang mengacak-acak wilayah kedaulatan Republik Indonesia ini.

Indonesia juga sudah gaduh dengan lepasnya Timor Timur dari pangkuan bunda Pertiwi yang berbendera merah putih, menjadi negara sendiri Timor Leste, bayangkan seberapa banyak sudah pengorbanan jiwa dan material yang diambil dari pajak-pajak yang dibayar anak bangsa ini. Mungkin tidak terhitung dengan angka sejumlah 12 digit nol, apalagi kalau dijadikan “koin Prita”, mungkin sudah sebesar gugusan gunung penghubung Kalimantan Tengah-Kalimantan Barat.

Situasi itu pulalah yang kemudian memunculkan wacana [masih wacana] untuk menjadikan daerah perbatasan dan batas terluar tanah republik ini sebagai beranda depan Indonesia. Salah, Keliru ? tidak, betul dan benar 1000%.

Panjang garis perbatasan Kalimantan [Indonesia] dengan Malaysia [Sabah/Sarawak] tidak kurang dari 2000 km, belum termasuk perbatasan lautnya. Kita harus jaga ini, apapun resikonya. Harus jaga dari illegal logging dengan cukong Malaysia dan anak negeri sendiri, harus jaga dari pergeseran tapal batas negara. Sekali lagi, harus dijaga tanpa sejengkalpun bisa dikuasai atau diatur-atur negara lain.

Upaya pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah serta tanah air Indonesia ini dalam mengamankan kawasan perbatasan patut diacungi jempol, sekalipun masih ada bolong dimana-mana, tapi itulah realitas kemampuan kita. Terima kasih.

Namun sekali lagi ini soal kawasan perbatasan, dibalik itu didalam jantung tanah negeri ini berjejer kavling-kavling tanah yang sesungguhnya berada dalam pangkuan republik, tetapi dikuasai oleh negara asing. Lho ?

Beberapa pengumpulan dan kompilasi data yang dilakukan oleh Save Our Borneo [SOB] menemukan bahwa sesunggunya jutaan hektar tanah negeri ini telah dikuasai secara defacto untuk kemakmuran negeri asing, khususnya Malaysia.

Tidak kurang dari 2 juta hektar tanah di Kalimantan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang nyata-nyata milik perusahaan asing, mereka menanam modal di tanah kita dan mengangkut keuntungannya kekantong-kantong ekonomi mereka.

Beberapa biaya yang harus dikeluarkan oleh Tras-Nasional Corporation ini sebagiannya diperuntukan bagi pembayaran buruh-buruh dan pekerja pribumi, selebihnya, pada level top leadernya adalah dikuasai oleh tenaga-tenaga dari negeri asal mereka [yang bahkan untuk berbahasa Indonesia saja tidak fasih].

Mau fakta ? lihat saja di perkebunan kelapa sawit Wilmar Group, Agro Group, Genting Group, IOI Group dan Group perkebunan asing lainnya, bahkan jari kita tidak habis untuk menghitung jumlah top leadernya di perusahaan tersebut, selebihnya buruh harial lepas [BHL].

Perhitungan kasar yang dilakukan berdasarkan sample, diketahui komposisi pekerja di perkebunan sawit adalah 70% buruh harial lepas BHL], 20% pegawai harian tetap [PHT] dan 10 % setingkat assisten sampai manager.

Kembali kesoal tanah, kalau secara defacto kompeni-kompeni asing ini menguasai jutaan hectare tanah [yang dilegalisasi dengan HGU], lalu dimana bisa dikatakan kedaulatan republik ini utuh atas wilayahnya. Jelas melompong dibagian tengahnya sekalipun dipagar besi diperbatasan. Dikeruk secara ekonomi dengan iming-iming retrebusi dan pajak serta tenaga kerja, namun tidak sadar kalau sesungguhnya keuntungan terbesar lagi-agi dilarikan keluar negeri. Kita tidak belajar dari bagaimana pengelolaan kayu dan hutan di Kalimantan yang sampai saat ini ternyata tidak menghasilkan banyak hal, selain hanya utang luar negeri, akibat dikeruk juga oleh modal-modal asing atau setidaknya pemodal republik yang sesungguhnya isi dompetnya juga titipan asing.

Kita bangga, pemerintah bangga bisa mendatangkan investor asing [yang sejatinya sesungguhnya dalah divestor]. Aneh, harusnya berbanggalah kalau mampu memberdayakan anak negeri, mampu membusungkan dada di kancah ekonomi dunia.

Penulis memiliki pengalaman 3 kali mengikuti Rountable Meeting on Sustainable Palm Oil [RSPO], dimana forum ini juga nampak sangat terang benderang siapa sesungguhnya yang juragan dan siapa yang jongos [jipen]. Sekali lagi, dengan miris terlihat bagaimana anak negeri hanya menjadi pesuruh-pesuruh berdasi.

Pengusaha perkebunan Malaysia menguasai lebih dari seperempat kebun kelapa sawit di Indonesia. Kondisi ini dinilai petani tak sejalan dengan kebijakan Pemerintah Indonesia yang menargetkan kebun sawit nasional pada tahun 2020 seluas 10 juta hektar dengan petani kecil sebagai pemilik utamanya.

Menurut Sekretaris Jendral Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad, saat ini paling sedikit 169 perusahaan perkebunan asal Malaysia beroperasi di Indonesia. Luas penguasaan lahan perusahaan perkebunan kelapa sawit asal Malaysia tersebut saat ini sudah hampir mencapai 2 juta hektar, dari total 7,2 hektar kebun kelapa sawit di Indonesia.

“Ini tentu tidak sesuai dengan keinginan pemerintah yang berencana menciptakan 10 juta hektar kebun kelapa sawit nasional pada tahun 2020 dengan petani sebagai pemangku kepentingan utamanya, bukan perusahaan perkebunan swasta, apalagi swasta asing,” ujar Asmar di Medan, suatu masa lalu.

Menurut hemat penulis, perusahaan perkebunan kelapa sawit asal Malaysia menggunakan standar upah Indonesia untuk menggaji petani dan buruh yang bekerja pada mereka. Upahnya masih standar Indonesia, mestinya kalau perusahaan Malaysia, standar upahnya ikut negara mereka.
Suatu ironi, ketika pada suatu masa anak bangsa ini begitu garang, sengit dan murka pada Malaysia yang mengaku-ngaku batik sebagai warisan budaya mereka bersama dengan Reog Ponorogo, selain juga yel-yel menghina yang dilakukan oleh supporter bola Malaysia terhadap Indonesia.

Kesengitan, murka dan semangat “perlawanan” yang demikian tidak dilakukan dan tidak berlaku ketika tanah-tanah negeri ini secara defacto “berbendera” Malaysia, setidaknya seluas jumlah perkebunan kelapa sawit yang berbasis modal Malaysia. Sekian.[nrd]

No Response to "Tanah Kita Tidak Lagi Berbendera Merah Putih"

Postingan Popular

KOMPAS News Regional

Berita Lingkungan Nasional

Lowongan Kerja di Kalimantan Tengah