Selamat Datang Di Blog ini Semoga Bermanfaat... Terima Kasih Kunjungannya

Kamu Suka ini?

Moratorium hutan Indonesia Batu loncatan untuk memperbaiki tata kelola hutan?

Moratorium hutan Indonesia
Batu loncatan untuk memperbaiki tata kelola hutan?
Center for International Forestry Research (CIFOR) Bogor, Indonesia

Authors: Murdiyarso, D.; Dewi, S.; Lawrence, D.; Seymour, F

Pada tanggal 20 Mei 2011, Pemerintah Indonesia menerbitkan Instruksi Presiden No. 10/2011 tentang penundaan penerbitan izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut, sebagai bagian dari kerjasama Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia, berdasarkan Surat Pernyataan Kehendak yang ditandatangani oleh kedua pemerintah pada tanggal 26 Mei 2010. Inpres yang menetapkan moratorium selama dua tahun terhadap izin hak pengusahaan hutan baru tersebut, menimbulkan wacana publik yang luas dan akan mempengaruhi kebijakan publik yang terkait. Makalah ini menganalisis makna moratorium tersebut dalam kerangka penyempurnaan tata kelola hutan di Indonesia. Moratorium terhadap izin hak pengusahaan hutan baru di kawasan hutan merupakan langkah penting dalam memenuhi komitmen sukarela Indonesia untuk mengurangi emisi. Namun demikian, beberapa persoalan belum tuntas mengenai luas dan status lahan yang tercakup dalam moratorium, serta jumlah karbon yang tersimpan di hutan dan lahan gambut yang dimaksud. Moratorium semestinya dilihat sebagai alat, bukan tujuan, guna menetapkan keadaan yang memungkinkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, menyempurnakan tata kelola hutan dan lahan gambut. Ketika mekanisme global seperti REDD+ sedang direncanakan, moratorium dapat membuka jalan bagi keberhasilan pembaruan kebijakan yang jauh melampaui masa berlakunya yang hanya dua tahun.
Topic:
policy, REDD, carbon, climatic change, moratorium
Geographic:
Indonesia
Pages:
15p.
Publisher:
Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia
Publication Year:
2011
Language:
Indonesian
Related publications




If you download this publication you may also be interested in these:

Emerging REDD+: a preliminary survey of demonstration and readiness activities

Avancemos con REDD: problemas, opciones y consecuencias

Indonesia’s forest moratorium: A stepping stone to better forest governance?
Center for International Forestry Research (CIFOR)

CIFOR advances human wellbeing, environmental conservation and equity by conducting research to inform policies and practices that affect forests in developing countries. CIFOR is one of 15 centres within the Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR).

Indikasi Biopiracy dibalik konservasi OU Sebuah temuan laporan investigasi Biopiracy II di Indonesia Oleh: Koesnadi Wirasapoetra

Indikasi Biopiracy dibalik konservasi OU
Sebuah temuan laporan investigasi Biopiracy II di Indonesia

Oleh: Koesnadi Wirasapoetra

Orang asing yang datang ke wilayah kerja konservasi orang utan, sering kali mempelajari cara hidup orang utan di pedalaman hutan gambut Kalimantan tengah. Mulai dari makanannya dan beberapa dedaunan yang biasa di gunakan orang utan untuk tubuhnya agar terhindar dari gigitan serangga, nyamuk, serta ketahanan hawa dingin. Yang lebih mengejutkan, orang utan sering memakan daun tertentu ketika akan melahirkan anaknya. Menurut warga, bahwa daun tersebut memiliki khasiat sebagai pelancar (pelungsur) ketika orang utan melahirkan anak dengan selamat.

Apa yang dimaksud Biopiracy? Barang yang satu ini adalah sebuah aktivitas yang memiliki pengaruh atas hilang atau diambilnya sesuatu benda, barang tertentu disuatu yang bersifat kekayaan sumberdaya alam (tumbuhan-daun-akar-biji-dlsb, hasil kerajinan, peninggalan sejarah dlsb), wilayah atau Negara tanpa memberitahukan pemilik wilayah atau Negara dengan alasan apapun. Kata biopiracy berasal di dasari oleh kata conspiracy (persekongkolan)– dan biodiversity (keanekaragaman hayati), personal, lembaga yang secara sengaja untuk melakukan tindakan kejahatan.

Dipenghujung akhir Januari 2008, sebuah diskusi kecil dipinggiran warung desa Keladan Kacamatan mentangai Kabupaten Kapuas, sekumpulan warga kampong yang sedang mengikuti pendidikan kader politik Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG). Dalam diskusi tersebut, bertopik sebuah hewan yang namanya Orang Utan (OU) yang sedang diupayakan penyelamatannya oleh lembaga konservasi di Kalimantan Tengah bernama BOSF (Borneo Orang Utan Survival Foundation).

Menurut cerita salah seorang yang pernah menemani seorang peneliti dari Luar Negeri tentunya orang asing di wilayah kerja BOSF, yang berhubungan dengan orang utan, menuturkan, bahwa orang asing itu mengaku bukan orang BOSF, tetapi mendapat ijin dari BOSF untuk kegiatan penelitian di wilayah kerjanya. Mereka dari perguruan tinggi luar negeri yang juga dibiayai oleh sebuah perusahaan obat. Penelitian yang dilakukan adalah mencari beberapa tumbuhan baik daun, buah, akar yang sering dikonsumsi oleh OU. Misalnya; dedaunan yang digunakan OU untuk digosokan ke tubuhnya agar OU tidak di gigit serangga atau nyamuk, dedaunan untuk dimakan agar OU tidak merasakan hawa dingin. Selain itu ada jenis daun yang biasa digunakan OU ketika OU mau melahirkan anaknya. Menurut keterangan warga, OU itu memakan dedaunan ketika mau melahirkan sebagai pembantu melancarkan lahir. Dan beberapa dedaunan dimakan OU pada saat setelah melahirkan.

Hewan primate dalam dunia medis yang kita kenal salah satu hewan untuk uji coba jenis obat-obatan dalam mengetahui manfaat dan kegunaan serta dosis yang dipakai. Pilihan OU merupakan sangat cocok, bila OU sendiri bagian dari penemu obat-obatan tersebut dimana dalam kehidupan sehari-harinya mengkonsumsi semua jenis tanaman hutan yanag berkhasiat untuk medis. Cerita sebelumnya, ada seorang warga Dusun mengkatip di Kecamatan Dusun Hilir Kabupaten Barito Selatan kalteng, pernah mengirimkan contoh buah manggis hutan kepada seorang peniliti yang pernah datang ke desanya sekitar wilayah kerja konservasi OU. Buah manggis utan ini, di menurut sumber lain, di yakini sebagai obat mencegah HIV/AID. Karena, menurut sumber lagi, HIV/AID pertama kali muncul di tularkan oleh sejenis hewan jenis primate besar di Afrika. Semenetara itu, laporan dari penduduk yang bermukim di sekitar kawasan konservasi OU, sering kali kedatangan dan melihat lalu lintas orang asing masuk ke kawasan konservasi tersebut dengan urusan penelitian OU dan hutannya. Sejak awal tahun 2004 sampai sekarang masih terus terjadi kunjungan orang asing sebagai peneliti. Sampai laporan ini dituliskan, belum ada kabar datang dari menerima buah manggis utan yang dikirim penduduk.

Pada kesempatan yang sama, aktivis local di Kota Kapuas juga menanyakan kepada Dinas dan Intansi terkait urusan hutan. Sejauhmana pengetahuan Dinas dan Instansi local mengetahui tentang para peneliti asing yang keluar masuk wilayah kerja konservasi OU? Jawabannya sangat datar, bahwa, mereka sedang melakukan penelitian OU dan upaya meneyelamatkan OU dari ancaman kepunahan. Lalu, apa saja yang diteili, jawabnya ya OU, titik. Dari jawaban ini sebagian besar aparat pemerintah daerah dan Dinas terkait tidak mengetahui secara jelas apa yang sedang terjadi di wilayah kerja konservasi OU. Apakah sedang terjadi Biopiracy terhadap sumber-sumber keanekaragaman hayati atau menggunakan Ou sebagai “kelinci” percobaan di habitatnya untuk kepentingan medis atas alasan penyelamatan musnahnya OU di Dunia.

Indikasi Biopiracy atas kekayaan sumberdaya keanekaragaman hayati di Indonesia sudah terjadi sejak awal tahun 1990. Dalam laporan pertama tahun 1998, yang ditulis dalam buku bunga rampai APKSA Kaltim, disebutkan, bahwa sejumlah peneliti asing telah melakukan “pencurian” sumber-sumber genetika Indonesia yang menggunakan kendaraan penelitian melalui lembaga-lembaga konservasi hutan di Indonesia. Perusahaan yang terlibat adalah perusahaan dari Prancis, Jepang, Amerika. Praktek ini diketahui melalui riset kehutanan secara kimia dan fisika, ketika awal 2000, dimulailah, riset primate besar sebagai bagian dari kendaraan untuk melakukan praktek biopiracy atas kekayaan genetika. Praktek ini didukung oleh sejumlah perguruan tinggi terkemuka, lembaga konservasi international besar di Indonesia. [koes/31/01/2008]

PROFITISME DAN EKSISTENSI BANGSA

PROFITISME DAN EKSISTENSI BANGSA





‘’Pendeknya, mereka (baca: pihak oposisi –KS) perlu mempertanyakan arah dan soal hidup-mati (survival) kehidupan politik Singapura dalam kurun waktu dari lima hingga limapuluh tahun mendatang. Mereka perlu memarakkan pertanyaan berdasarkan skenario yang ada sekarang di mana segala-galanya dijuruskan ke arah laba (profit) semata: Apakah Singapura ini sebuah bangsa ataukah korporasi pemburu uang?”(Is Singapore a nation or a money making corporation?”) dan yang terakhir adalah pertanyaan:‘’Dari sudut pandang generasi muda, pada ujung hari, patutkah mereka merelakan hidup untuk membela Singapura?’’ Inilah pertanyaan-pertanyaan niscaya (the pertinent questions) yang patut dikemukakan’’. Demikian pertanyaan-pertanyaan sangat esensial yang dilontar oleh novelis Singapura kepada para politisi yang akan bersaing merebut tampuk kekuasaan melalui pemilu 7 Mei 2011 di Negara Kota itu.



Pertanyaan terakhir membuatku membayangkan Singapura negara makmur, teratur dengan hukum jelas tapi kemudian punah sebagai bangsa. Barangkali bayangan demikian karena pertanyaan kunci pertama: Adakah bangsa Singapura itu?Sebab yang jelas ada yaitu Negara Kota Singapura, negara kota dagang yang berprinsip seperti yang dituliskan oleh salah seorang novelisnya ’’segala-galanya dijuruskan kepada perolehan profit’’. Berpangkal dari orientasi demikian maka Singapura lebih merupakan sebuah korporasi pemburu profit, uang dan uang, semacam VOC di Hindia Belanda dulu. Yang disebut perangkat negara tidak lain dari perangkat korporiasi pemburu profit. Profit dan segala yang berhubungan dengan profit merupakan tatanan nilai dalam masyarakat. Dengan peroleh profit demi profit maka warga Kota Negara itu bisa membawa profit itu ke mana saja dan menetap di negara baru. Nasionalisme, bangsa tidak tidak berurusan dengan profit. Di negara baru yang kemudian mereka pilih sebagai tempat tinggal juga tidak didiami dengan rasa keterikatan sebagai bangsa. Ketika negara dan bangsa yang dipilih sebagai tempat tinggal baru, berada dalam keadaan terancam, mereka tidak merasa perlu untuk turut membelanya. Yang terpikir, bagaimana keadaan terancam bisa dimanfaatkan untuk memperoleh profit. Orientasi profit tidak memerlukan nasionalisme dan bangsa. Negara hanyalah semacam organisasi para pemilik uang. Untuk meraup profit segala cara dihalalkan. Manusia pun tidak dipandang sebagai manusia utuh tapi diturunkan menjadi komoditas. Karena itu novelis Singapura itu mengajukan pertanyaan: Apakah Singapura mau menjadi bangsa atau menjadi korporasi pemburu profit. Dari orientasi ini lahir sebuah kebudayaan unik, yaitu kebudayaan profit. Negara adalah alat para profiteurs agar maksimal meraup profit dan melindungi profit yg didpat..Kebangsaan tidak diperlukan. Oleh karena itu Singapura merupakan tempat berkumpul para profiteurs dari berbagai asal negeri, termasuk dari Indonesia. Karena didirikn dengan basis ideologi profitisme, maka yang ada adalah negara Singapura, tanpa eksistensi Bangsa Singapura. Jadi di Singpura tidak ada masalah eksis dn tidak eksisnya Bangsa Singapura. Mereka baru mempertanyakan: Singapura mau menjadi apa dan mau ke mana? Menjadi bangsa ataukah tetap menjadi profiteurs, korporator? Jawaban pertanyaan dan apa yang mereka pilih adalah urusan orag-orang Singpura sepenuhnya.



Yang menjadi pertanyaan bagiku: Apakah profitisme dengan segala manifestasinya, seperti KKN ketika menjadi nilai dominan di suatu negara akan melenyapkan suatu bangsa, secra spesifik Bangsa Indonesia? Menjadi nilai dominan artinya nilai itu mengisi otak dan hati, kemudian mewujudkan diri pada tindakan. Profitisme yang egoistik samasekali tidak mengindahkan kepentingan publik, bangsa dan negara. Singkatnya tidak acuh pada rangkaian nilai republikan dan berkeindonesiaan. Karena yang terpenting bagaimana ‘’aku dapat meraup profit semaksimal mungkin dengan cara apapun’’. Profitisme tidak acuh pada keselamatan dan kelangsungan eksistensi bangsa. Yang dikhawatirkan benar berdasarkan kasus Singapura, bahwa ketika profitisme ini dominan yng sekarang bernama Bangsa Indonesia akan punah , dan kepunahannya berawal dari dikuasainya hati dan kepala anak negeri ini oleh profitisme.



Apakah kekhawtiran punahnya Indonesia sebagai bangsa oleh profitisme ini suatu kekhawatiran imajiner? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan pertanyaan:Tidakkah Indonesia sekarang dililit oleh sungut gurita KKN yang kuat? Tidakkah Indonesia termasuk kategori negeri terkorup di dunia? Tidakkah di negeri ini berbagai mafia merjalela? Mafia Pengadilan, Mafia Kasus, Mafia Kasus, Mafia Pajak, Kolusi antara elite kekuasaan dengan Perusahaan Besar Swasta, dan lain-lain penyalahgunaan kekuasaan. Warganegara dan kekayaan alam tanahair dijadikan komoditas. Data-data di atas memperihatkan bahwa bangsa yang masih primordial ini profitisme bercokol kut di kepala dan hati para elite kekuasaan. Elit adalah kepala dari tubuh. Ikan busuk mulai dari kepalanya, bukan dari ekornya.



Elit yang busuk memerlukan posisi lemah warganegara; Dalam posisi lemah profitisme membuka jalan lapang ke kepala dan hati warganegara. Ketika warganegara dan elit didominasi oleh profitisme ini maka jalan kepunahan bangsa kian dekat. Apabila rakyat berbagai pulau mencari jalan pemerdekaan diri, pilihan terpaksa inipun akan memusnahkan eksistensi Indonesia sebagai bangsa. Mencari perekat lain untuk keragaman Indonesia seperti yang dilakukan oleh yang disebut Negara Islam Indonesia, tidak lain dari jalan sektarisme sia-sia untuk menyelamatkan eksistensi Bangsa. Sektarisme hanya membawa bangsa ke jalan buntu dan kehancuran sebelum punah.



Kalau sepakat untuk mencegah musnahnya Indonesia sebagai bangsa, jalan memperkuat posisi rakyat merupakan jalan terbaik dan mendasar. Jalan memperkuat posisi rakyat ini yang belum sungguh-sungguh ditempuh karena jalan berat tidak seperti pendekatan elitis yang umum dilakukan sekarang. Elitisme berujung dengan persekongkolan antar para elit berbagai kalangan.





Kusni Sulang, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, Palangka Raya.

KALIMANTAN TENGAH, WACANA PEMBERDAYAAN DAN PEMBANGUNAN

KALIMANTAN TENGAH, WACANA PEMBERDAYAAN DAN PEMBANGUNAN



Tanggal 23 Mei 2011 kita merayakan Hari Jadi Ke-54 berdirinya Kalimantan Tengah sebagai sebuah provinsi otonom Republik Indonesia. Sekalipun sejak tahun 1957 saban tahun Hari Jadi dirayakan, tapi secara jujur saya mengatakan keraguan yang sangat, bahwa semua Uluh Kalteng, baik angkatan muda maupun Uluh Kalteng dari yang sudah lama bermukim di sini maupun yang baru datang, tahu sejarah provinsi ini. Keraguan besar ini disebabkan sejarah Kalteng, paling tidak selama 37 tahun, sejak Gubernur Tjilik Riwut didepak ke atas oleh Orde Baru di tahun 1967 mempelajari sejarah Kalteng tidak menjadi kepentingan banyak pihak. Karena sejarah Kalteng mengandung sebuah cita-cita, visi-misi, metode untuk mewujudkan visi-misi tersebut yang bertentangan dengan pandangan dan sikap menjadikan Kalteng sebagai hanya daerah usaha, eksploitasi, bahkan daerah yang harus ditaklukan dan dikuasai, bukan daerah kampung-halaman yang patut dibangun. Untuk itu manusianya patut dilucuti secara kebudayaan, dan hasil pelucutan budaya selama paling tidak 37 tahun, bahkan lebih panjang lagi jika dihitung sejak Pertemuan Damai Tumbang Anoi 1894, kita tuai sekarang. Penduduk hanya 2,5 juta, tapi kekayaan alam yang kaya raya tidak mampu menyejahterakan pendudukan 2,5 juta itu, lebih-lebih lagi tidak membahagiakan Uluh Itah, pejuang dan pendiri provinsi ini melalui jalan bersimbah darah dan airmata. Apabila tidak ingin ketidaktahuan sejarah dan budaya ini berlanjut, maka mulok patut fokus pada soal sejarah, bahasa dan budaya, tidak pada yang lain. Yang lain bisa dilakukan secar ekstra kurikuler.



Di atas, saya katakan bahwa berdirinya Kalteng termasuk menunjukkan metode yang dipilih untuk memberdayakan dan membangun suatu daerah, jika tidak mau menggeneralisasikan lebih luas ke tingkat nasional. Metode ini oleh Prof. Dr.Ir. Sajogyo dari IPB Bandung 10 tahun lebih silam,dalam diskusi dengan penulis menyebutnya sebagai Jalan Kalimantan. Kata Kalimantan ini untuk Sulawesi, bisa diganti dengan Sulawesi, di Papua dengan Jalan Papua, dan seterusnya. Inti dari Jalan Kalimantan (Jalan Kalteng) sebagai metode pemberdayaan dan pembangunan adalah pemberdayaan dan pembangunan yang berangkat dari kondisi dan budaya lokal. Memperhitungkan peran manusia sebagai aktor dan tujuan pemberdayaan dan pembangunan. Manusia yang dimaksud adalah manusia yang manusiawi dengan komitmen manusiawi, bukan manusia tukang kosong wacana. Tukang yang bisa menjelma menjadi komoditas dan penjegal pemberdayaan dan pembangunan. Yang diperlukan adalah manusia yang manusiawi dan berketerampilan tinggi. Jalan Kalimantan sebagai metode pemberberdayaan dan pembangunan, juga mengutamakan kemandirian, tanpa menolak investasi, tapi tidak membiarkan investor jadi raja mengelola daerah, tapi pemerintah yang mengatur mereka. Kalimantan Tengah dan manusianya menurut pandangan jalan ini, bukanlah komoditas obralan. Metode ini pulalah yang kemudian dilakukan oleh para tahanan politik Orde Baru dengan berhasil mengobah Pulau Buru yang tandus menjadi pulau subur hijau sawah dan kebun.



Sejak tahun 1957 sampai dengan tahun 1967, manusia-manusia pembangun Kalimantan Tengah menerapkan Jalan Kalimantan untuk memberdayakan dan membangun Kalteng dari tiada menjadi ada, dari kecil berkembang jadi besar. Kalteng diberdayakan dan dibangun tidak dengan modal barisan sarjana, profesor doktor, tidak dengan limpahan dana tapi bermodalkan manusia-manusia Dayak panarung dengan dua tangan dan kepalanya. Barisan sarjana, progfesor doktor sekarang adalah hasil perjuangan mereka yang mandi darah mendirikan dan membangun Tenda dijadikan tempat tinggal dan kantor sekaligus. Saya khawatir sejarah begini dilupakan dan tidak diketahui oleh Uluh Kalteng dari berbagai angkatan; Lupa seperti dicanangkan oleh penulis Ceko Milan Kundera memang gampang memerosotkan manusia.



Untuk menggambarkan keadaan Kalteng sebelum 1957 dan pada 1957 hingga tahun 1960an, di sini saya mengutip apa yang ditulis oleh TT. Suan, salah seorang sangat dekat dengan Tjilik Riwut sejak membangun Kalteng. Dalam tulisannya: ‘’Limapuluh Empat Tahun Provinsi Kalimantan Tengah’’yang disumbangkan untuk antologi esai tentang Kalteng:’’Budaya Dayak:Masalah dan Aternatifnya’’, antara lain menulis:



‘’Di daerah pedalaman, jual-beli dilakukan dengan sistem barter. Barang-barang hasil bumi dan lain-lain ditukar dengan barang-barang keperluan sehari-hari seperti tekstil, pakaian, garam, gula dan sebagainya. Keadaan menjadi lebih parah dan menyedihkan karena dalam barter ini, para pedagang menjual barang-barangnya dengan harga cukup tinggi, sebaliknya barang hasil bumi Rakyat pedalaman seperti rotan, karet, getah jeluntung, damar, sirap, madu, dan lain-lain dihargai dengan sangat rendah Keterpurukan ini. makin diperparah lagi oleh keadaan transpor yang sepenuhnya bersandar pada sungai dan laut dengan sarana dan prasarana yang sangat langka. Kehidupan dan kegiatan ekonomi Rakyat, lalu lintas barang sangat tergantung pada ‘’distribusi’’ dari Kota Banjarmasin, sebagai kota pelabuhan dan ibukota Provinsi Kalimantan . Keadaan pendidikan dan kesehatan tak usah dikatakan lagi. Apalagi yang disebut pembangunan. Sangat menyedihkan adalah arti dan gambaran Kalimantan Tengah pada waktu itu” (TT.Suan, 2011).



Kalimatan Tengah berarti keterbelakangan total.Diterbelakangkan secara sistematik dan jadi sasaran agresi termasuk agresi budaya dan desivilisasi.



Secara angka, selanjutnya TT. Suan menggambarkan aset awal Kalteng ketika didirikan pada 1957 sebagai berikut:



‘’Provinsi Kalimantan Tengah terdiri dari tiga Kabupaten Otonom meliputi 46 kecamatan dan 859 kampung/Desa.Keadaan pendidikan di tiga kabupaten ‘’baru menginjak’’ tingkat Sekolah Dasar dan beranjak ke tingkat menyelenggarakan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP-SMP) . Jumlah SD sebanyak 412 buah, jumlah murid 35.000 orang, SMP Negeri sebanyak 4 buah, SMP Swasta 9 buah dengan jumlah siswa (Negeri & Swasta sebanyak 996 orang). Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA-SMA) baik Negeri maupun Swasta belum ada. Rumah Sakit Umum ada dua buah, yaitu RSU Sampit milik Pemerintah dn RSU Kuala Kapuas, milik Swasta. Untuk melayani kesehatan penduduk Kalimantan Tengah yang berjumlah kurang lebih 400.000 jiwa hanya ada tiga orang dokter, tenaga bidan, jumlahnya sampai hitungan jumlah jari sebelah tangan, tenaga perawat pun kurang sekali. Jalan darat merupakan lanjutan jalan Banjarmasin-Hulu Sungai sampai Ampah sepanjang 40 km. Yang berupa jalan tanah perkerasan terdapat di Pangkalan Bun-Kumai sepanjang kurang lebih 15 Km. Pelabuhan yang ada hanya pelabuhan antar pulau (inter insuler) dan Pelabuhan Pantai. Yang agak besar dan ‘’sibuk” adalah Pelabuhan Sampit.Pelabuhan-pelabuhan pantai yang ada yaitu Kumai, Kuala Pembuang, Kuala Jelai dan Pegatan. Pelabuhan Udara hanya terdapat dua buah, yaitu Sabah Uyah yang sekarang bernama Bandara Iskandar di Pangkalan Bun, dan ‘’Pelabuhan Air” di Sampit hanya disinggahi pesawat terbang “amfibi” jenis Catalina dan Twin Otter. Jembatan (itupun dari kayu) hanya terdapat satu buah, melintasi Sungai Karau di Ampah. Pertanian /Perkebunan yang agak berarti adalah kebun karet milik rakyat. Demikian juga saah dan ladang rakyat, luas seluruhnya sekitar 36.726 hektare. Perikanan (Sungai dan Laut), menurut data 1957/1958, jumlah produksinya mencapai 36.023 ton.’’ (TT.Suan, 2011).



Sedangkan keadaan Kalteng pada tahun 2009 menjadi sebagai berikut: Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah terdiri dari 13 kabupaten dan 1 kota, 120 kecamatan, 67 kadamangan, 124 kelurahan dan 1.356 desa. Jumlah SD Negeri 2.359 Unit, SD Swasta 288 buah, jumlah murid (Negeri dan Swasta) sebanyak 282.377 orang. SLTP (Negeri dan Swasta) 494 buah dengan jumlah siswa sebanyak 84.059 orang, SLTA (Negeri dan Swasta) 208 buah dengan jumlah siswa 41.023 orang. Dan Perguruan Tinggi/Universitas sebanyak 10 buah. Untuk tigabelas Kabupaten dan satu Kota, semua telah memiliki Rumah Sakit Umum (RSU), seluruhnya terdapat 14 RSU. Puskesmas 141 buah Puskesmas Pembantu (Pustu) sebanyak 714 buah, Polindes 581 buah, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) 1.993 unit. Tenaga Dokter 132 orang, terdiri dari dokter spesialis 46 orang, dokter , dokter umum 29 orang, dokter gigi 57 orang, Perawat sebanyak 1.936 orang, Bidan 1.079, dan Apoteker sebanyak 36 orang.Jalan Darat Menurut ‘’kelasnya’’ adalah: Jalan Negara yang melintasi Kalimantan Tengah sepanjang 1.714.,67 km, Jalan Provinsi 1.776.15 km, Jalan Kabupaten sepanjang 8.710,67 km dan Jalan Kota 826,43 km.Bandara/Lapangan Terbang ada 9 buah (yang terbesar adalah Bandar Udara Tjilik Riwut Palangka Raya sekaligus ‘’pintu gerbang” memasuki Kalimantan Tengah).Pelabuhan (Samudera, Antar Pulau dan Pantai) sebanyak 10 buah. Jembatan konstruksi baja bentangan panjang 200-500 meter lebih melintasi sungai-sungai besar yang telah ada dan sedang dan (mulai) dibangun lebih dari 15 buah.( ’Kalimantan Tengah Dalam Angka Tahun 2009’’, Kerjasama BAPPEDA Kalimantan Tengah dengan Biro Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Tengah).



Capaian-capaian di atas, betapapun belum maksimal, tapi merupakan hasil dari penerapan Kalimantan Tengah sebagai Jalan Pemberdayaan dan¨Pembangunan. Meninggalkan Jalan Kalteng akan menghancurkan Kalteng.***



KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, Palangka Raya.

Emansipasi dalam Masyarakat Dayak

Emansipasi dalam Masyarakat Dayak

Andriani S. Kusni *)



SDC15391.JPG

“Suara perempuan” dalam spanduk demonstrasi menentang pernyataan Prof. Thamrin Amal Tomagola dalam sidang kasus Nazriel Ilham (Ariel-Peter Pan). Lokasi Bundaran besar Palangka Raya, 08/01/2011 (Foto: Andriani S. Kusni)





R.A. Kartini di negeri ini dipandang sebagai pahlawan kesetaraan perempuan dan lelaki sehingga hari kelahirannya, 21 April, ditetapkan sebagai Hari Emansipasi dan dirayakan secara nasional. Dalam masyarakat Jawa yang feodal, kedudukan lelaki dan perempuan memang berbeda. Perbedaan yang antara lain dicerminkan dalam ungkapan “ke sorga ikut, ke neraka terbawa” (menyang swarga nunut, menyang neraka katut). Perempuan juga dilukiskan sebagai “konco wingking” , teman di belakang atau digambarkan sebagai “lembang rumah”. Dengan istilah lain, perempuan berstatus sebagai obyek belaka. Obyek dari lelaki. Sesuai dengan status demikian, bahasa Jawa menyebut perempuan dengan kosa kata wanita (dari bahasa Sansekerta, vanidh berarti “ yang di….”). Kata perempuan juga dari bahasa Sankserta berarti “yang mempunyai kemampuan”.



Sesuai dengan karakter rezimnya yang militeristik neo-feodal, yang memerosotkan Republik Indonesia menjadi sebuah imperium atau kerajaan model kerajaan Mataram, Orde Baru Soeharto menggunakan istilah wanita, seperti misalnya pada Dharma Wanita, untuk organisasi istri-istri PNS. Menurut konsep Dharma Wanita Orde Baru, perempuan berfungsi sebagai “pendamping suami dan ibu rumah tangga”. (Ninuk Mardjana Pambudy, “Pemenuhan Asa Kartini”, Harian Kompas, Jakarta, 16 April 2010).



Agar lepas dari kooptasi negara, maka kata perempuan kembali digunakan oleh Gerakan Perempuan. Dalam masyarakat feodal Jawa, di usia remaja, perempuan-perempuan masuk pingitan. R.A Kartini tidak lepas dari nasib tersebut. Dari ruang pingitan ini kemudian, R.A. Kartini melakukan surat-menyurat dengan para sahabat Belandanya di negeri Belanda, menyuarakan pikiran dan perasaannya yang terkungkung tapi ingin kebebasan. Surat-menyurat ini kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Mimpi-mimpi dan pikiran-pikiran dalam surat-surat tersebut dipandang sebagai terobosan baru bagi Indonesia lalu atas dasar itu R.A. Kartini diberi kedudukan sebagai pahlawan kesetaraan perempuan Indonesia.



Tanpa mengurangi nilai-nilai pikiran dan mimpi tersebut, agaknya pengertian Indonesia di sini lebih kena terutama Jawa karena keadaan masyarakat Jawa dan masyarakat di pulau-pulau lain tidak sama. Ada masyarakat yang tidak mengenal apa yang dialami oleh R.A. Kartini. Tapi keadaan masyarakat tersebut kurang atau bahkan tidak dikenal oleh elite negeri ini yang berpusat di Jawa. Untuk waktu lama sejarah Indonesia bersifat sangat Jawa Sentris. Apakah elite di Jawa sampai sekarang cukup mengenal daerah-daerah lain? Sebuah tanda tanya besar, apalagi tidak sedikit kalangan elite lebih mengenal Amerika dari Indonesia sendiri. Jawa Sentris inipun sampai sekarang masih berlangsung misalnya dalam hal pembangunan.



Untuk menyusun sejarah Indonesia yang benar-benar sejarah Indonesia, kegiatan para elite lokal terutama para cendekiawannya, dengan menulis sejarah lokal dan keadaan masyarakat lokal sangat perlu. Dalam hal Gerakan Kesetaraan, gerakan jender, karena kurangnya pengenalan mereka yang menyebut diri kaum feminis, maka teori yang ditawarkan untuk negeri kita adalah apa yang diambil dari Barat. Tanpa menolak penggunaan teori-teori feminisme dari Barat, apakah tidak selayaknya juga melakukan penelitian untuk mengenal bagaimana konsep masyarakat-masyarakat lokal tentang status perempuan dalam masyarakat? Jadi tidak hanya mengunyah-ngunyah hasil bacaan dari luar. Yang diperoleh dari luar hanya dijadikan acuan dan bandingan. Ilmiah tidaknya karya tidak ditandai oleh deretan kutipan buku dari luar di catatan kaki (foot note), tapi terutama rasuk tidaknya yang diucapkan dengan kenyataan. Mengunyah-ngunyah ajaran dan bacaan tanpa daya kritik, gampang menggiring kita ke penaklukan atau penjajahan intelektualitas secara sukarela, bahkan dengan penuh kebanggaan, menduga tingkat intelektualitas diri sudah sangat tinggi dengan deretan catatan kaki itu. Padahal kita akan tidak lebih dari “cendekiawan catatan kaki” jika menggunakan istilah Arief Budiman. Menyadari hal ini, Saparinah Sadli juga mengingatkan “pentingnya mengembangkan teori feminisme yang khas Indonesia” (lihat , Saparinah Sadli, “Berbeda Tapi Setara”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010). Keinginan Saparinah ini hanya mungkin jika riset kontinyu terhadap masyarakat kita di seluruh wilayah tanah air dilakukan. Jadi tidak berangkat dari asumsi subyektif. Lebih baik lagi jika dibarengi dengan aktivisme.



Dalam masyarakat Dayak Kalteng, teurtama Uluh Ngaju, kedudukan perempuan dalam masyarakat dilukiskan oleh Tjilik Riwut sebagai berikut: “Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama.Peran serta dalam tugas kemasyarakatan, berperang, mengurus rumah tangga dan mencari nafkah boleh dilakukan siapapun, baik laki-laki maupun perempuan asalkan mau dan mampu. Begitu juga dalam hal pembagian warisan, baik warisan dalam bentuk materi maupun dalam bentuk kemampuan spiritual dan kesakitan yang diwariskan berdasarkan turunan darah tidak ada perbedaan, laki-laki dan perempuan. Perbedaan hanya pada fungsi alamiah dalam bentuk fisik antara laki-laki dan perempuan itu sendiri” (Tjilik Riwut, 2003:100-1001). Dalam soal warisan, bahkan anak perempuan mendapatkan jumlah lebih besar dari lelaki. Sebagai tanda terimakasih orangtua kepada anak perempuan mereka yang telah mengurus orangtua lebih tekun dan lama dari anak-anak lelaki. Rumah tangga, dipimpin bersama oleh ayah dan ibu. Segalanya diputuskan bersama. Secara ekonomi, ibu tidak tergantung pada ayah. Barangkali hal ini merupakan dasar ekonomi bagi perempuan untuk setara dengan lelaki (suami). Sementara Hukum Adat sangat menjunjung perempuan dengan menetapkan perlindungan kuat pada perempuan melalui ketentuan-ketentuan adat. Dengan status perempuan demikian, orang tua tanpa segan melepaskan anak perempuan mereka untuk pergi ke tempat lain, misalnya bersekolah. Kesetaraan ini juga nampak di medan perang, dengan adanya pangkalima-pangkalima perang perempuan yang menggentar lawan begitu mendengar namanya baik pada zaman betang (misalnya Nyai Bahandang Balau), maupun pada masa perang melawan Belanda atau waktu mendirikan provinsi Kalteng. Pada waktu zaman perang gerilya melawan Belanda, ibu Tjilik Riwut pun turut bergiat seperti halnya perempuan-perempuan lain di Katingan. Kalau di negeri-negeri yang dikuasai oleh feodalisme, perempuan dihimpit oleh “tiga gunung besar” (kekuasaan lelaki, raja feodal, dan imperialisme), perempuan di masyarakat Dayak Ngaju tidak mengalami himpitan demikian.



Tapi status kesetaraan demikian nampaknya mengalami pergeseran. Terutama sejak masa rejim Orde Baru yang secara sistematik menghancurkan Masyarakat Adat dan lembaga-lembaganya dengan meng-golkarkan dan melakukan pendekatan politik SARA, ditambah lagi pengaruh agama-agama baru sehingga perubahan komposisi demografis Kalteng dan marjinalisasi masyarakat Dayak semakin nyata. Dari segi kesetaraan, boleh dikatakan masyarakat Dayak Ngaju tidak berjalan maju tapi memperlihatkan tanda-tanda kemunduran – walaupun secara budaya masih belum pupus. Sisa-sisa budaya kesetaraan ini patut dikembangkan karena perempuan tidak lain dari “penyangga separuh langit”. Tidak ada kemerdekaan sesungguhnya jika “penyangga separuh langit “ ini dibelenggu. Dan benarkah Kalteng sungguh-sungguh merdeka hari ini? Terbitnya buku Sejarah Perempuan Kalteng (Dayak) merupakan sumbangan berharga dalam melihat sejarah kesetaraan perempuan-lelaki di provinsi yang sejarahnya banyak tidak dikenal baik oleh banyak orang, termasuk kalangan elitenya.



*) Perancang & pembuat perhiasan, penulis lepas, pengasuh ruang kebudayaan di HU Palangka Post, SekJend Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah

Potret Perkebunan Sawit di Indonesia

Potret Perkebunan Sawit di Indonesia



REFLEKSI: Saya jadi teringat sejarah masa silam , yaitu sejarah Evolusi Perkembangan Kebudayaan Manusia, khususnya dalam menuju Regulisasi Pasar Bebas,yang terjadi pada masa Gelombang ke-II ,dimana Herbert Spencer , yang hidup selama masa hidup Darwin, telah mengembangkan suatu ideologi “Social Darwinism”, yang bersandar pada Survival of the fittest, yaitu : siapa yang menang bersaing, adalah yang benar. Dengan cara apa/dan bagai mana bisa menang bersaing, tidak dipersoalkan.



Pada zaman itu ideologi “Social Darwism” telah menghalalkan dan pemusnahan banyak negara. Perusakan hutan-hutan untuk ditanami Karet, Kelapa Sawit dan teh secara monikultur, untuk memenuhi bahan baku Industri raksasa di Ingris.

Keadaan seperti ini rupanya muncul kembali di abad ke 21 di Indonesia, hanya bedanya yang mengerakkan bukan Herbert Spencer, tapi presiden RI yang bernana Susilo Bambang Yudoyono (SBY),yang melakukan Penghancuran Hutan Tropis di Indonesia untuk diganti dengan perkebunan Sawit demi memenuhi kebutuhan industri raksasa milik kampitalis neoliberal yang menjalankan politik imperialisme- Globalisasi pasar bebas yang sangat dikagumi oleh SBY.



Kita semua sudah tahu bahwa SBY telah diakui sebagai pemenang pemilu dan pilpres 2009 yang cacat hukum. Karena SBY telah dinobatkan oleh MK, DPR dan MPR sebagai pemenang, dan UUD 45 telah dikebiri, maka dengan leluasa SBY dapat meniru Herbert Spencer untuk menghalalkan ideologi “Social Darwinnism” di Indonesia. Denagn demikian rezim SBY tidak lagi bersandar pada ideologi Pancasila 1 juni 1945, tapi bersandar pada Survival of the fittest seperti yang sudah di utarakan diatas tadi.



Laporan dari diskusi Ultrech (1) dan (2) yang terkait dibawah mengungkapkan bahwa SBY sudah jelas meninggalkan ideologi Pancasila 1 juni 45, dan buta Ekologi. Orang seperti ini tak layak dibiarkan jadi Presiden sampai 2014; karena orang seperti itu berbahaya bagi kelanggengan kehidupan tanah air dam bangsa Indonesia.

Anti-Korupsi Dan Ekonomi Kerakyatan

Anti-Korupsi Dan Ekonomi Kerakyatan

Krisis ekonomi tahun 1997 disusul oleh jatuhnya Soeharto dari panggung kekuasaan. Indonesia mengalami krisis multi dimenszional dan bahkan eksistensinya sering juga disebut sebagai berada di ujung tanduk. Krisis dan kemiskinan mencuat menjadi tema diskusi sengit. Ekonom-ekonomi seperti Sri Mulyani Indrawati, Anwar Nasution ataupun Charmeida Tjokrosuwarno misalnya menjelaskan krisis ekonomi dan kemiskinan yang merajalela setelah “Bapak Pembangunan” tidak lagi berkuasa, dikaitkan dengan mengguritanya korupsi dalam masyarakat kita –warisan “Bapak Pembangunan” Indonesia itu. Ekonom-ekonom di atas kesemuanya memandang krisis ekonomi tidak terlepas dari faktor moral hazard. Dalam hal ini korupsi ‘’menjadi penjelasan paling sahih atas kegagalan dan penyakit dalam kehidupan ekonomi” dan ‘’Korupsi pulalah penyebab kemiskinan". Pandangan begini, bukan saja mendominasi ruang-ruang akademis dan perdebatan soal ekonomi, tetapi juga dipergunakan oleh para politisi untuk menjatuhkan lawan politiknya di saat pemilihan.” Seperti ditulis oleh Editorialis Berdikari, penjelasan demikian, begitu hegemonik di tengah opini publik, bukan saja karena ditopang oleh kaum elit dan kelas menengah beserta perangkatnya, hingga berhasil menyingkirkan isu "kebijakan" dari ruang politik”.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kunci dari masalah krisis multi dimensional dan kemiskinan, menurut pandangan par ekonomi tersebut dan yang juga dianut oleh pemerinth Susilo Bambang Yudhoyono,terletak pada mampu tidaknya kita mengatasi masalah korupsi. Sementara DPR menyusun UU yang meringankan hukuman terhadap para koruptor. Dari data laporan tahun 2010, MA menyebutkan sebanyak 442 kasus korupsi telah diputus. Dari 90,27 persen koruptor yang divonis bersalah, tercatat 269 perkara atau 60,68 persen yang terdakwanya divonis antara 1 hingga 2 tahun(Detik News, 24 Februari 2011). Sehingga jika demikian, kita berada dalam suatu lingkaran setan. Padahal menurut pandangan di atas, jika kita berhasil lepas dari lilitan jerat gurita korupsi, maka kesejahteraan akan diperoleh, kita pun keluar dari belenggu krisis demi krisis.
Dengan pandangan hegemonik demikian, dan menempatkan kapitalisme kroni sebagai musuh, lalu muncullah desakan agar kaum tekhnokrat mengisi jabatan-jabatan birokrasi. Logika begini mengatakan bahwa melalui cara ini maka korupsi yang menjadi pangkal petaka akan dibersihkan, good governance akan terwujud. Secar bersamaan, mereka juga mengutuk kapitalisme kroni, yang dulu pada zamn Pemerintahan Soekarno disebut kapitalis birokrat (menjadi kapitalis melalui penyalahgunaan kekuasaan) dan membangun Dinasti Ekonomi masing-masing, sebagai musuh, kaum neoliberal mulai meminta kaum teknokrat untuk mengisi jabatan-jabatan birokrasi. Tapi benarkah, para tekhnokrat bisa bebas dari korupsi dan tidak akankah mereka pun akan melakukan praktek serupa jika sudah menduduki jabatan-jabatan birokrasi? Pertanyaan ini dijawab oleh kenyataan di manapun di negeri ini, termasuk di Kalteng yang tidak memberikan bukti yang membenarkan alasan demikian. Berdasarkan penelitiannya di Thailand di bawah kekuasaan Thaksin (2001-2006) Walden Bello, seorang penulis Philipina, sampai pada kesimpulan bahwa para teknokrat dan politisi liberal punya dosa lebih besar dalam soal pemiskinan rakyat letimbang politisi korup. Thaksin dari tahun 2001-2006, yang berhasil memulihkan Thailand dari krisis ekonomi tahun 1997 dengan menendang keluar IMF dan menjalankan sejumlah program sosial: sistem layanan kesehatan murah, satu juta bath dana pembangunan kota-kota, moratorium utang petani, dan kredit mikro bagi kaum tani.
Tanpa mengurangi pentingnya memberantas korupsi, tapi kalau kenyataaan tidak membuktikan argumen di atas, artinya korupsi bukanlah musabab kunci dari krisis, kegagalan pembangunan ekonomi dan kemiskinan merajalela,yang sering ditutupi oleh angka-angka statistik resmi (bentuk lain dari korupsi. Dengan menyebut korupsi sebagai penyebab utama, sama dengan berusaha proses pemiskinan yang diikuti oleh segala rupa krisis dan permasalahan sosial, yang muncul sebagai akibat pilihan politik atau kebijakan yang diambil. Pilihan politik itu misalnya pencabutan subsidi, liberalisasi perdagangan, prioritas pembayaran utang luar negeri, produksi berorientasi ekspor, privatisasi dan deregulasi, dan lain-lain. Pilihan politik begini dengan berani disebut sebagai kebijakan ekonomi kerakyatan, padahal sesungguhnya tidak lain dari dari politik ekonomi.neo-liberal.

Apakah politik ekonomi neo-liberal itu? Istilah ‘neo-liberalisme’ yang luas digunakan dewasa ini pada mulanya adalah nama yang dipakai para pejuang demokrasi di Amerika Latin untuk menggambarkan watak ideologis kolusi antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar-bebas dalam coraknya yang ekstrem. Ekonomi-politik rezim Pinochet di Chile (1973-1990) menjadi model par excellence yang dimaksud para pejuang itu. Dari sana istilah ‘neo-liberalisme’ menyebar. Ketika kediktatoran mulai surut di benua itu, istilah ‘neo-liberalisme’ dipakai untuk menunjuk kinerja ekonomi pasar-bebas dalam coraknya yang ekstrem, meskipun negeri seperti Chile tidak lagi memakai sistem ekonomi pasar bebas se-ekstrem rezim Pinochet.Maka mulailah kisah pemakaian istilah ‘neo-liberalisme’ secara amat longgar seperti sekarang. Trio deregulasi-liberalisasi-privatisasi, misalnya, memang merupakan motor kebijakan ekonomi ‘neo-liberal’ di Amerika Latin waktu itu. Namun, tidak semua bentuk deregulasi-liberalisasi-privatisasi merupakan agenda neo-liberal, seperti yang sering tertulis di banyak spanduk demonstrasi menentang IMF dewasa ini. Cuma, itu bukan lalu berarti neo-liberalisme identik dengan kebebasan, hanya karena di situ ada kata ‘liberal’ (liber: bebas; libertas: kebebasan); dan lalu pengritik neo-liberalisme sama dengan kaum anti-kebebasan (B.Hinu Priyono).



Jadi inti dari neo-liberalisme adalah trio deregulasi-liberalisasi-privatisasi. Lebih singkat, adalh pasar besar, negara lepas tangan dalam kehidupan ekonomi. Dalam istilah uang sering diberitakan oleh Koran-koran Kalteng, memberi keleluasaan dan fasilitas bagi investor. Investor dipandang sebagai pendongrak kehidupan ekonomi daerah sementara kenyataan, sampai sekarang yang maju di Kalteng adalah konflik social. Kasus Jalan Badak Palangka Raya yang berdarah hanyalah salah satu petunjuk saja tentng keadaan Kalteng sebagai provinsi beresiko tinggi (high risk province). Bahkan sangat beresiko tinggi. Di atas cara produksi, yang dibangun dari alat produksi utama tanah dan kandungannya muncullah kapitalisme kroni, kapitalisme birokrat dan dinasti-dinasti ekonomi. Korupsi adalah salah satu perwujudan dari cara produksi demikian dengan dampak merusak kehidupan masyarakat di berbagai bidang. RTRWP yang perencanaannya hanya dilakukan oleh segelintir elit kekuasaan saja dan tidak pernah disosialisasikan, meninggalkan partisipasi masyarakat, demikian juga rebutan dana REDD Plus, bukan tidak mungkin jika sudah ditetapkan akan mempercepat konflik sosial besar di Bumi Tambun Bungai.



Uraian di atas mau mengatakan bahwa anti korupsi saja tidak cukup, tidak menyeesaikan soal mendasar. Soal dasar terletak pada cara produksi dan pengembalian alat produksi pada masyarakat, terutama Masyarakat Adat, sesuai prin.sip ekonomi kerakyatan alias demokrasi ekonomi seperti tertera pada Pasal 33 UUD ’45. Yang dilakukan sekarang bertentangan dengan prinsip ekonomi kerkyatan. Melaksanakan demokrasi ekonomi berarti kita membebaskan tenaga produktif. Untuk itu dari atas, Gubernur dan bupati yang merakyat menetapkan pilihan politik merakyat, dan mutlak dibantu oleh kabinet yang kabinet yang merakyat serta berkemampuan. Di pihak lain, masyarakat luas (terutama lapisan bawah) memperkuat daya tawarnya dengan mengorganisasi diri, misalnya memperkuat organissi lembaga-lembaga adat yang benar-benar beradat. Dengan daya tawar yang kuat, Masyarakat Adat yang bebas, tidak terkontaminasi dan tidak elitis, mampu mengawasi pemerintah dan menghadapi siapapun untuk membela hak-hak diri. Tidak ada cara efektif lain untuk memberdayakan diri di Kalteng yang beresiko tinggi serta tak lebih dari daerah koloni dalam wilayah Republik Indonesia seperti sekarang. Gerakan anti korupsi patut dibarengi dengan gerakan pemberdayaan masyarakat dan pembebasan tenaga produktif. Harapan terakhir ada di tangan masyarakat sendiri. Standar kepentingan tertinggi juga tidak lain dari kepentingan rakyat saja. Maka seperti ujar lirik Negro Spiritual dan Bob Marley, ‘’raja’’ kaum rastafari: ‘’O brother, don’t you weep , don’t you pray, salvation is not coming that way” so that “stand up right now and take up your rights!!” (Wahai saudaraku, janganlah kau menangis, jangan menangkup tangan belaka, dengan cara demikian keselamatan takkan tiba” maka “bangkitlah sekarang juga. Ambil kembali hak-hakmu!”).



KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, Palangka Raya.

KALIMANTAN TENGAH HANYALAH DAERAH KOLONI

KALIMANTAN TENGAH HANYALAH DAERAH KOLONI



Apakah Kalimantan Tengah (Kalteng) merupakan sebuah provinsi merdeka ataukah masih merupakan sebuah koloni atau daerah jajahan di wilayah Republik Indonesia ?



Pertanyaan ini bisa dijawab dengan pertanyaan ini: Apa ciri-ciri daerah jajahan?



Ciri-ciri daerah jajahan itu pertma-tama adalah ketergantungannya pada pihak lain .di luar dirinya. Terutama ketergantungan politik dan ekonomi. Apakah Kalteng tergantung di bidang politik dan ekonomi? Sangat tergantung sekalipun dikatakan sekarang Indonesia menerapkan sistem otonomi daerah, tapi pda kenyataannya Jakarta masih menentukan hal-hal kunci. Oleh karena itu otonomi yang diterapkan sekarang, tidak lain dari otonomi ular. Ular yang dipegang ekornya tapi dilepaskan kepalanya. Dengan ular itu membunuh dengan kepalanya bukan dengan ekornya. Yang disebut Gubernur, sebenarnya adalah jabatan dengan kekuasaan terbatas dan dikendalikan oleh Jakarta. Jabatan yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat alias Jakarta. Tetapi tidak mempunyai kuasa besar. Karena itu bupati dan walikota berani membangkanginya.RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi) sampai sekarang masih tertahan di Jakarta. Izin untuk Perusahaan Besar Swasta (PBS) masih ditentukan oleh Jakarta . Karena memburu rupiah maka terjadilah penyalahgunaan kekuasaaan berbentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dengan akibat. Memelaratkan rakyat.



Di bidang ekonomi, Kalimantan Tengah tidak lain dari penyedia bahan mentah saja, bukan produsen barang setengah jadi. Bahan mentah itu diangkut keluar. Batu bara misalnya diangkut ke Jawa-Bali untuk sebagai sumber enerji pembangkit tenaga listrik di sana , sementara listrik di Kalteng terus- byar-pet. Bagaimana industri dan perusahaan, pembangunan bisa lancar jika listrik tidak memadai? Pembangunan. Tanpa listrik adalah bualan belaka. Sumber daya alam Kalteng tidak menyehterakan penduduk yang hanya berjumlah 2,2 juta jiwa. Sebaliknya malah memelaratkan mereka secara jangka panjang dan sistematik. Tanah-tanah dijarah atau diperjual-belikan dengan harga sangat murah. Masyarakat Adat dikriminilisasikan.



Ciri lain bahwa Kalteng daerah tergantung nampak dari kenyataan bahwa provinsi ini dijadikan pasar bagi produk dari luar. Daging, sayur, bawang, cabe, apalagi barang-barang elektronik semua tergantung dari luar. Oleh ketergantungan begini maka ombak Laut Jawa pun turut mempermainkan kehidupan penduduk.Ketika ombak Laut Jawa membesar, harga bahan-bahan pokok pun melangit. Padi yang ditanam di Kalteng dibawa keluar oleh pengijon dan dimasukkan kembali ke Kalteng dengan harga lebih mahal.



Kemudian, Kalteng hanyalah menjadi sumber atau penyedia tenaga buruh murah dengan upah rata-rata Rp. 40 ribu sehari. Upah begini jika satu keluarga mempunyai dun k saja, maka pendapat demikian bisa dihitung apakah cukup atau tidak untuk menghidup satu keluarga terdiri 4 orang? Menurut angka Walhi Kalteng, dari 2,2 juta penduduk Kalteng, kurang lebih 1 juta hidup di PBS. Memang mereka mendapatkan pekerjaan, tidak menganggur, tetapi bekerja dengan gaji yang menemptkan mereka pada garis kemiskinan.



Pendapatan demikian selanjutnya diikuti oleh macam-macam penyakit sosial, termsuk anak-anak yang tidak mampu bersekolah. Apalagi sekolah gratis 9 tahun pada kenyataannya hanyalah slogan yang berbeda dengan kenyataan. Oleh pendapatan demikian pula selanjutnya berkembanglah budaya kemiskinan di kalangan kaum miskin. Budaya kemiskinan yang makin memarjinalkan kaum miskin, kaum paria provinsi (sebenarnya bisa dibaca juga sebagai Indonesia ).



Marjinalisasi kaum paria ini kian menjadi-jadi oleh sangat lemahnya mereka di hadapan Negara. Mereka tidak terorganisasi. Masyarakat Adat yang sesungguhnya bisa berperan jadi pelindung dan organisasi bertarung, sudah dilemahkan dan sangat terkontiminasi, bahkan turut melakukan kolusi dengan PBS dalam menjarah tanah petani.



Apakah keadaan Kalteng yang demikian bisa disebut bahwa Kalteng adalah daerah merdeka? Daerah yang bermartabat dan berharga? Tidak! Kalteng masih merupakan daerah terjajah di wilayah Republik Indonesia . Untuk merdeka perlu mengubah imbangan kekuatan melalui pengorgnisasian rakyat baik Dayak atau yang senasib dengan Dayak.Mayoritas mereka terdapat di kampung-kampung. Hanya dengan berorganisasi mereka mempunyai daya tawar yang bisa diperhitungkan. Dalam pengorganisasian ini proses penyadaran untuk menjadi aktor pemberdayaan diri mereka sendiri dilakukan bersamaan dengan memecahkan masalah perut. Hanya memecahkan masalah perut tanpa meningkatkan kesadaran, maka permberdayaan akan bersifat ekonomisme belaka tanpa perspektif maju. Sebaliknya hanya melakukan penyadaran dan advokasi tanpa memecahkan masalah perut akan membangun barisan para jenderal tanpa prajurit. Pemaduan keduanya ini saya namakan gerakan pembangkitan yang juga sering disebut gerakan sosial pemerdekaan. Yang terjadi sekarang di negeri ini, termasuk di Kalteng, adalah tidak adanya jenderal, dan para paria tercerai-berai tak tahu berbuat apa sehingga anarkhisme berkembang. Gerakan sosial akan melahirkan pemimpin dan budayanya sendiri yang baru. Otonomi khusus untuk Kalteng pun akan menjadi kokoh ketika gerakan sosial pemerdekaan ini berkembang. Jika dalam 3-4 tahun ke depan, gerakan sosial pemerdekan begini tidak muncul, Kalteng dikhawatirkan akan makin terjajah, dan terjual. Bahkan terpecah.***



Kusni Sulang, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, Palangka Raya.

Wacana Kadaluwarsa

Wacana Kadaluwarsa
Kusni Sulang

“Pantha Rei”, segalanya mengalir, ujar filosof Yunani Kuno. Mengalir artinya berubah, bergerak. Gerak adalah hukum yang mengendalikan segala, berada di luar kemampuan dan kemauan manusia untuk mengendalikannya. Karena itu Mao Tse-dong mengatakan bahwa kemerdekaan itu jika kita mengenal hukum hal-ihwal dan berdasarkan hukum itu kemudian bertindak untuk mengubah hal-ihwal, termasuk keadaan. Jika diterapkan pada keadaan sosial, maka yang dimaksudkan adalah melakukan perubahan sosial manusiawi. Sebab mengenal keadaan adalah salah satu tahap saja dari suatu proses keberpihakan manusiawi. Tesis ke-11 Marx tentang Feuerbach menyebutkan bahwa: “The philosophers only interpreted the world differently, but what counts, is to change it (the world)”. Para filsuf telah menafsirkan dunia secara berbeda-beda, tapi yang terpenting adalah mengubah dunia itu” (Dikutip dari makalah Frans Sani Lake, “Reintegrasi Kebudayaan Dayak, Oktober 2011).

Kalimantan Tengah pun tidak bisa mengelak dari hukum gerak yang universal. Kalimantan Tengah sekarang berbeda dengan Kalimantan Tengah zaman Tumbang Anoi 1894, berbeda pula dengan Kalimantan Tengah zaman Pakat Dayak 1919 yang mengkroreksi kesalahan Pertemuan Tumbang Anoi, berbeda dengan zaman Tjilik Riwut 1957 dalam hampir seluruh bidang. Dari segi demografis, Kalimantan Tengah tidak lagi didominasi oleh orang Dayak. Di beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS), bahkan orang Dayak hanya berjumlah 5% atau 45%. Perubahan komposisi demografis in akan terus berlangsung. Perubahan juga sangat nampak di bidang kebudayaan. Budaya Dayak. Kebudayaan dan masyarakat Dayak, oleh Frans Sani Lake dinilai mengalami “tragedi historis di tengah modernitas yang menghasilkan disintegrasi historis” (Frans Sani Lake, 2011). Perubahan juga melanda dunia politik, ekonomi dan sosial.

Di hadapan perubahan demikian, elit Dayak dan Kalimantan Tengah menawarkan budaya yang disebut filosofi budaya huma betang. Isi filosofi budaya huma betang itu pada tahun 1990 dirumuskan sebagai “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’’, rumusan yang diambil dari pepatah Melayu lama untuk melukiskan keniscayaan beradaptasi, menghormati adat-istiadat setempat di mana sesorang sedang berada, tanpa tanggungjawab pemberdayaan dan pembangunan. Hanya saja oleh perkembangan, agaknya common sense begini sudah menjadi ketinggalan zaman, tidak lagi tanggap terhadap perkembangan serta rangkaian nlai republikan dan berkeindonesiaan.

Uluh Kalimantan Tengah bukan hanya Uluh Itah (Orang Dayak). Tapi semua yang tinggal, bekerja, dan hidup di Kalimantan Tengah. Ketika menjadi Uluh Kalimantan Tengah, tanggung-jawab mereka terhadap Kalimantan Tengah mestinya sama. Kalimantan Tengah adalah kampung-halaman mereka. Jika hanya menjunjung langit yang mereka pijak, mereka tidak mempunyai tanggung-jawab dan tidak pernah merasa satu dengan Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah tidak pernah mereka hayati sebagai kampung-halaman. Mereka selamanya akan menjadikan Kalimantan Tengah sebagai tempat usaha, numpang kerja mencari hidup. Mereka akan selamanya jadi wisatawan domestik. Selamanya akan merasa diri sebagai pendatang. Padahal Manusia Indonesia, demikian juga republik dan berkeindoesiaan sesungguhnya mengandung gagasan yang berbeda dengan pandangan, sikap dan perasaan demikian. Pandangan, perasaan dan sikap demikian bertolak belakang dengan rangkaian nilai republikan dan berkeindonesiaan. Jika common sense begini yang dominan maka tidak terelakkan sekat-sekat tebal akan memisahkan unsur-unsur komposisi demografis yang heterogen. Pandangan budaya begini akan menjadi dasar pembenaran secara filosofi untuk memelihara ghetto-ghetto dalam diri semua pihak, menyemai kekerasan (secara tidak disadari), yang bisa menyeret Kalimantan Tengah meluncurkan akhtret, laju ke belakang. Apabila pandangan, perasaan dan sikap demikian dijadikan pegangan maka ia lagi-lagi hanya memperlihatkan bahwa Republik Indonesia dan Manusia Indonesia adalah sesuatu yang sedang menjadi. Republik dan keindonesiaan sekarang tidak lebih dari sesuatu yang formal. Dasarnya belum solid. Lagi-lagi hal ini pun memperlihatkan betapa perlunya politik kebudayaan yang tanggap dan apresiatif untuk mengejawantahkan rangkaian nilai republikan dan berkendonesiaan, bukan retorika. Saya khawatirkan retorika hanya membuat “tragedi historis” dan “disintegrasi historis”, meminjam istilah Frans Sani Lake, akan menjadi-jadi. Hal ini berlangsung oleh pandangan kita yang meremehkan kebudayaan dan belum menghayati makna kebudayaan sesungguhnya. Masyarakat Kalimantan Tengah sekarang pada dasarnya mengarah ke hedonisme yang meremehkan human value dan valuation, dibayangi oleh “budaya” kekerasan, mulai dari kalangan elit hingga ke akar rumput.

Pandangan, sikap, dan perasaan yang tanggap zaman dan apresiatif sekarang tidak lain “dimana bumi dipijak di sana langit dibangun”. “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” sudah kadaluwarsa. Il n’y a plus de sense (tak punya arti apa-apa lagi). Common sense yang ketinggalan zaman dan berbahaya. Yang good sense adalah “di mana bumi dipijak di sana langit dibangun”. Ia meniscayakan pembauran, tanggung-jawab (hak dan wajib) warga negara dan tanggung-jawab manusiawi yang dalam sastra lisan Dayak Katingan disebut “rengan tingang nyanak jata” (anak enggang putera-puteri naga).***

Kusni Sulang, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah

APAKAH BETANG MEMPUNYAI FILOSOFI?

APAKAH BETANG MEMPUNYAI FILOSOFI?

Oleh Andriani S. Kusni

Dalam bedah buku “Budaya Dayak: Permasalahan Dan Alternatifnya” pada 14 Oktober 2011 di Betang Eka Tingang Bganderang,Palangka Raya, ada yang berang karena merasa dilecehkan oleh Kusni Sulang yang mengatakan bahwa ‘filosofi budaya betang’ adalah sebuah istilah salah kaprah’. ‘Bétang’’, menurut Kusni Sulang, tidak mempunyai filosofi sebagaimana halnya dengan ‘tongkonan’ di Toraja. Karena itu tidak ada yang disebut ‘filosofi huma betang’.

Mengenai hal ini, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah (selanjutnya disingkat Perda No.16/2008) menggunakan istilah ‘’falsafah hidup “Budaya Huma Betang atau Belom Bahadat”. (hlm. 49).

Yang dimaksudkan oleh Perda No.16/2008 ‘’falsafah hidup “Budaya Huma Betang atau Belom Bahadat” “adalah .perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam” (Perda No. 16/2008: 49). “Apabila telah mampu melaksanakan perilaku hidup “Belom Bahadat”, maka akan teraktualisasi dalam wujud Belom Penyang Hinje Simpei” yaitu hidup berdampingan, rukun dan damai untuk kesejahteraan bersama” ( Perda No.16/2008:49).

“Perilaku” berlangsung menurut kaidah, norma dan pedoman”. Seperti dikatakan oleh J.W.M.Bakker,S.J. kaidah, norma dan pedoman atau kriterium ini diperlukan untuk membimbing jalan kebudayaan ke arah perkembangan wajar, untuk menentukan mana yang kebudayaan otentik, mana tidak, serta prinsip mana yang harus direalisasi gar tujuan kebudayaan tercapai” (1984:12). Hal menetapkan asas tujuan mahluk-mahluk insani dan menertibkannya dalam keseluruhan adalah tugas filsafat. Filsafat kebudayaan mendekati hakekat sebagai sifat esensi manusia yang untuk sebagian mengatasi ruang dan waktu empiris, dimensi sejarah dan setempat. Dalam kata-kata J.V. Schall, S.J: “Philosophy has some very valuable, indeed essential contribution to make before there can be any adequate knowledge of what s meant by culture” (Philosophical Aspects of Culture, New School, 1957: 211, dikutip dari J.W.M.Bakker , S.J, 1984:12).

Artinya filosofi kebudayaan menyangkut masalah nilai hakiki. Nilai hakiki inilah yang merupakan sari kebudyaan yang membimbing “menetapkan asas tujuan mahluk-mahluk insani dan menertibkannya dalam keseluruhan “, termasuk di dalamnya perilaku manusia. Perilaku hanyalah salah satu pernyataan keluar dari nilai hakiki atau pandangan filosofi. Perilaku bukalah hakekat itu sendiri; Sehingga yang disebut “filosofi hidup huma betang atau belom bahadat” oleh Perda No.16/2008 adalah salah satu wajah luar atau permukaan dari filosofi, bukan filosofi itu sendiri. Wajah luar daeri yang disebut “Falsafah Hidu Huma Betang” atau Belom Bahadat” atau yang sering juga disebut sebagai “Falsafah Huma Betang” adalah “adalah .perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam”.

Keberadaan hanya di permukaan yang tidak menjadi hakekat yang disebut “Filosofi Budaya Huma Betang” ini akan lebih terlihat lagi jika dilihat dengan menggunakan pandangan antropolog suami-istri Clyde Kluckhohn dan Florence Kluckhohn dalam buku Variation in Value Orientation (1961). Menurut kerangka pndangan suami-istri Kluckhohn , semua sistem nilai budaya di dunia ini secara hakiki menyangkut lima masalah pokok dalam kehidupan manusia. Kelima masalah pokok atau hakiki itu adalah:

(1). Masalah mengenai hakekat dari hidup mausia.

(2). Masalah mengenai hakekat karya manusia.

(3). Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu.

(4). Masalah hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitar.

(5). Masalah mengeni hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya (dari: Koentjaraningrat 2004: 27-28).

Dilihat dari sudut pandang suami-istri Kluckhohn, yang disebut “falsafah hidup budaya betang” yang dirumuskan sebagai “adalah .perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam” , sama sekali tidak mencakup kelima masalah hakiki tersebut. Perumusan ini sangt jauh dari yang disebut “filosofis”. Karena perumusan demikian hanya berada di permukaan, maka ia tidak mampu menjawab pertnyaan mendasar mengapa harus berperilaku demikian? Sehingga bukan tidak mungkin permusuan yg disebut ‘’filosofis’’ demikian bisa berbalik menjadi seperti “keris makan tuan” , bagi Orang Dayak sendiri. Saya khawatir denga perulusan demikian, neo-fedalisme menjadi subur sebgai menuntut kepatuhan membuta. Di pihak lain bisa digunakan sebagai alat agresi budaya oleh penganut “besar-isme”. Dan terhadap agresi “besar-isme” ini, semua orang diminta menerimanya karena harus “toleran”, harus “taat pada hukum”. Sedangkan kenyataan menunjukkan, lebih-lebih sekarang, tidak dengan sendirinya hukum itu mencerminkan dan apalagi identik dengan keadilan (lihat: Carl Joachim Friederich, 1969). Perumusan “falsafah hidup budaya betang” yang demikian juga berkibat menghambat perkembang budaya kritis. Kritik bisa dipandang sebagai tidak “taat” pada hukum. Sehingga manusia digiring untuk menjadi alat jinak (docile tool) pihak yang berdominasi. Dalam cara kerja ia mencerminkan diri pada model “top-down”, buka “bottom up”, Maka demokrasi pun terdesak ke pojok. Padahal kalau memang yang disebut “budaya huma betang” itu suatu falsafah, filsafat itu menurut Dr. Stephen Palmquis adalah suatu “dialog rasional” (Dr. Stephen Palmquis 2007:46).

Adalah Stephen Palmquis juga yang berpendapat bahwa filsafat itu mengandung empat unsur . “Dua unsur pertama bersifat teoritis.Unsur pertama, ialah metafisika, dan pertanyaan yang menetapkan tugas metafisika adalah “Apa yang merupakan realitas puncak?”. Unsur kedua, logika. Penentuan persoalannya bisa diungkap sebagai “Bagaimana kita memahami makna kata-kata?”.

“Dua unsur terkhir bersifat praktis. Unsur ketiga dapat disebut “filsafat terapan”. Penerapan kata-kata itu mestinya menimbulkan pengetahuan; kata Inggris “science” berasl dari kata Latin sciens yang berarti “mengetahui”, sehingga kita bisa menamakan unsur ketiga ini science (ilmu)). Pertanyaan filosofis mengenai ilmu adalah “Di manakah garis tapal batas yang tepat antara pengetahuan dan kebebalan?”. Unsur keempat ialah ojtologi, yang mengajukan pertanyaan “Apa makna ada”?. Dengan menanyakan dan menjawab pertanyaan ontologis, kita berharap meningkatkan phamn kita tentang sifat dasar berbagai benda (umpamanya , Tuhan, manusia; hewan), atau tipe pengalaman berlainan (contohnya, keindahan, cinta, kematian)” (Dr. Stephen Palmquis, 2007:6). Apakah yang disebut “falsafat budaya huma betang” dalam Perda No.16/2008 seperti di atas yang bertitikberat pada “perilaku” saja, mengandung empt unsur filsafat yang dikatakan oleh Dr. Stephen Palmquis? Kalau tidak, karena unsur-unsur falsafat tidak dipenuhinya, lalu bisakah falsafah budaya huma betang” disebut sebagai falsafah?

Dalam sejarahnya, istilah “budaya betang” atau “falsafah budaya huma betang“ ini, muncul dengan latar politik pada tahun 1990-an. Waktu itu “budaya betang” dirumuskan sebagai “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Perumusan ini jauh lebih miskin lagi dari perumusan yang dikembangkan oleh Perda No.16/2008.

Pepatah “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” lebih di arahkan kepda para pendatang (waktu itu mendominasi kekuasaan di Kalteng. Penggunaan pepatah ini menyiratkan tujuan politik menjelang pemilihan Gubernur bahwa “putera daerah”lah yang mestinya berkuasa, sedangkan pihak pendatang harus menjunjung langit di mana bumi mereka pijak. Sedangkan pepatah “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” merupakan sanggahan terhadap anggapan umum pada waktu itu bahwa Orang Dayak tidak mampu menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di Kalteng. Artinya perumusan “falsafah budaya betang” pada waktu itu seperti halnya yang terdapat pada Perda No. 16/2008 sangat berlatarbelakangkan kepentingan politis.

Perumusan-perumusan yang dilakukan tanpa kajian serius atas kebudayaan dan sejarah Dayak demikianlah yang berkembang sehingga menjadi pemahaman umum (common sense), tanpa menyimak apa bagaimana sesungguhnya sari kebudayaan Dayak itu atau filosofi Manusia Dayak yang sesungguhnya. Studi dan peelitian budaya serta sejarah malangnya masih belum berkembang benar di daerah yang mempunyai 31 universitas dan perguruan tinggi ini. Dengan kata lain, telah terjadi politisasi budaya untuk kepentingan politik praktis.

Ketika ia menjadi pemahaman umum, sekali pun tidak mencerminkan sari budaya Dayak itu sendiri, maka terjadilah yang oleh Kusni Sulang “salah kaprah”. Bukan penjelasan begini yang menyudutkan tapi sebaliknya “salah kaprah” itu yang secara tidak disadari merupakan senjata budaya penyudutan masyarakat Dayak. Ketersudutan makin dipermudah oleh kebingungan menghadapi perkembangan masyarakat Kalteng. Ketersudutan yang kian menjadi, membuat masyarakat Dayak sangat sensitif dan gampang mengamuk serta mendekat pada jalan pintas bernama kekerasan, dan berbagai bentuk eskapisme. Masyarakat secara umum kehilangan orientasi.

Di hadapan keadaan begini, maka Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah memandang perlunya ada suatu politik kebudayaan yang tanggap dan aspiratif untuk penduduk yang sangat heterogen.. Malangnya kebudayaan dianggap tidak penting dan dipahami secara dangkal di daerah ini. Sedangkan kebudayaan pada hakekatnya adalah masalah pembangunan manusia. Pembangunan dilakukan oleh dan untuk manusia. Terabaikannya masalah kebudayaan, melahirkan yang disebut oleh Kusni Sulang sebagai “kemapanan di atas kerusakan”. Dari bedah buku “Budaya Dayak: Permasalahan Dan Alternatifnya’’ pada 14 Oktober 2011 lalu, gejala-gejala di atas memperagakan diri dengan jelas.

Apakah betang sebagai sebuah bangunan mempunyai filosofis?

Secara arsitektur, betang dilahirkan oleh untuk pemenuhan kepentingan. Bangunan yang dibngun untuk menghadapi bahaya banjir;, ancaman binatang buas, ancaman kayau. Bangunan begini dari sudut pandang arsitektur disebut bangunan vernakuler. Di samping betang dalam sebuah kampong, léwu, terdapat bangunan-bangunan individual . Berbeda dengan tongkonan di Tanah Toraja yang secra arsitektur disebut rumah tradisional. Rtinya bentuk tongkonan mengandung konsep kosmis Manusia Toraja yag memandang kosmos terdiri dari tiga bagian: Dunia tas, dunia tengah dan bawah. Karena betang tidak mengdung konsep kosmis begini maka betang tidak bisa disebut rumah tradisional Dayak.

Lalu bagaimana kemudian?

Bisa saja istilah “budaya betang” dipertahankan, tapi ia harus diisi dengan pengertian baru, sehingga tidak terjadi salah kaprah. Yang lebih kena barangkali Budaya Dayak dan Filosofi Dayak.Untuk memastikn isinya, penelitian sungguh-sungguh, menyusunnya secara sistematik, merupakan pekerjaan medesak. “Kira-kira”, “katanya”, tidak memberikan makna nyata dan tidak bisa dijadikan landasan untuk membangun Kalteng jadi bermutu. “Kira-kira”, “katanya”, asing dari kenyataan sesungguhnya, membuat kita bangun tidur masih di tempat semula. Setelah penelitian, mensistematikkannya, menganalisanya dengan tajam, diminta pula kerajinan dan keberanian berpikir. Masalah-masalah hari ini lebih memerlukan kerja otak yang keras daripada bersandar pada ketajaman mandau. Bagaimana menggunakan kekuasaan di tangan pun meminta kendali otak dan komitmen keadilan manusiawi. Kemudian, tidak kalah penting bahwa dapatan itu dimasyarakatkan. Untuk itu, kita perlu berani mengatakan apa yang oleh orang lain tidak dikatakan. Mengubah common sense menjadi good sense, re-humaisasi untuk transformasi sosial pembebasan jauh lebih utama dari citra semu. Apalagi kita memang hidup dalam apa yang oleh antropolog Perancis Mac Augé disebut sebagai “la guerre de l’image” (perang citra). ***

Seni Yang Mengandung Filosofi

Minggu, 23 Oktober 2011 10:53

PrintPDF

Simbol kehidupan (Foto Raisya Maharani)

Seniman itu bernama Albertus – lelaki paruh baya yang intelek. Albertus memegang jabatan sebagai penanggungjawab Rumah Betang. Segala sesuatu peijinan tamu yang mendatangi Rumah, renovasi rumah atau pembongkaran rumah berada dalam wewenang Albertus.

Profesinya sebagai seniman sudah dia tekuni dari sejak umur empat tahun, bakatnya itu mengantarkan dia kepada sejumlah karya-karya eksotik yang ditaksir oleh berbagai pengunjung. Dia memoleskan setiap aliran naruralis dan sureliasmenya kedalam setiap pahatan patung-patung kayunya.

Albert --begitu sapaan akrabnya-- tak hanya memahat, tapi dia juga menghidupkan isoteris dari karya-karyanya. Isoteris adalah suatu nilai yang terkandung didalam benda-benda seni berupa filosofi atau makna dari benda tersebut. Dinding ruang tamu rumah Albert, dihiasi berbagai macam patung dengan beragam bentuk, ukuran dan warna.

Dia membuat Gunamp – perisai yang digunakan dalam perang antara suku Dayak dan Madura, setiap ukiran dalam Gunamp itu bermakna bahwa akar-akar pada perisai ini saling berhubungan dan bekerjasama, “dan seperti itu jugalah manusia seharusnya dapat bekerjasama dengan lainnya” kata Albert.

Disamping Gunamp, tergantung patung yang berkepala menyerupai belalang, Albert menunjuknya, “ Kepala Belalang, ini mengandung arti bahwa seseorang yang memiliki badan yang tidak utuh atau realis, tetapi jiwanya dan imannya pergi meninggalkan jasadnya. Lalu disebelah pojok sana, ada ukuran kayu Daun Jajarat yang mengandung isoteris yakni menjaga jarak aman untuk menolak roh jahat yang hendak masuk.”

Saya mendongak keatas kusen pintu, dimana ada patung yang menurut saya aneh, karena berbentuk kepala dan badan saja tanpa tangan dan kaki. “Itu artinya adalah orang yang tidak tahu asal-usulnya, tidak tahu akan nilai kehidupan dan hanya mencari kepuasan semata. Karena itu bentuk dia tidak jelas dan realistis selakyaknya manusia utuh,” kata Albert. (RM)

http://www.gatra.com/nusantara/kalimantan/3814-seni-yang-mengandung-filosofi

Satu Jiwa, Makna Bagi Manusia

Minggu, 23 Oktober 2011 10:50

0 Komentar

E-mailPrintPDF

Satu Jiwa (Foto Raisya Maharani

Salah satu patung kesayangan Albertus, seniman suku Dayak Kayanatn, adalah sebuah patung manusia berderet-deret. Oleh Albertus, patung tersebut diberi nama Satu Jiwa. Patung yang dipajang di rumahnya itu juga

banyak menarik para pecinta seni yang pernah mampir ke rumah Albertus.Patung itu tersusun dari ukiran-ukiran manusi dalam ukuran sangat kecil yang begitu banyak, sambung menyambung hingga menjulang tinggi keatas. Makna yang dari rangkaian manusia itu, menurut Albertus, adalah tiga hubungan erat dalam kehidupan manusia adalah hubungan antar sesama manusia, manusia dengan tuhan dan manusia dengan alam.

Rangkaian miniatur-miniatur manusia itu berkaitan satu sama lain dan terus menjulang tinggi hingga meruncing diatasnya. “Inilah patung satu Jiwa. Sekumpulan orang-orang yang terkait satu sama lain menggambarkan kehidupan suku Dayak Kanayatn, yang tidak bisa lepas dari hubungan antar sesama dan juga dengan tuhan,” ucap Albert, menutup pertemuan kala itu.

Makna dalam patung buatan Albert itu sama dengan prinsip hidup suku Dayak dalam mendirikan rumah betang: saling menolong dengan sesama dan memperkuat azas kekeluargaan. (RM)

http://www.gatra.com/nusantara/kalimantan/3813-satu-jiwa-dan-makna-bagi-manusia

[AMAN] Tentang Rumah Betang di Majalah Gatra

Filosofi Rumah Bentang

Filosofi Rumah Betang berkaitan erat dengan azas kekeluargaan yang diciptakan oleh leluhur suku Dayak Kanayatn di Rumah Betang ini. Menurut cerita dari leluhur mereka, dahulu semua orang Kanayatn tinggal secara terpisah satu sama lainnya, sangat sulit berhubungan dan memantau keadaan masing-masing.

Orang tertua kanayatn merasa perlu memperhatikan sanak saudara-saudaranya. Untuk mempertemukan semua anggota keluarga yang terpisah-pisah, terbit sebuah ide. Yakni membangun rumah agar mempermudah hubungan antar sesama anggota yang sebelumnya berjauh-jauhan. Rumah itu dibuat memanjang untuk menampung jumlah keluarga yang seiring waktu semakin bertambah, saat itulah penamaan Rumah Panjang atau Rumah Betang tercipta.

Seiring berjalannya waktu, mereka menyadari pentingnya membangun sebuah hubungan antar sesama manusia, sesuai dengan prinsip hidup leluhur mereka yaitu saling membantu sesama manusia – sebuah nilai kemanusian yang bersahaja. Mereka mulai menciptakan aturan-aturan tentang tata krama kehidupan bermasyarakat yang baik, itulah awal mula terciptanya hukum adat.

Hingga saat ini, azas kekeluargaan itu masih melekat dalam kehidupan keluarga yang sekarang menghuni Ruah Betang. Secara garis besar, semua peghuni rumah betang merupakan sebuah keluarga besar yang berasal dari satu pertalian keturunan darah yang sama.

Keluarga yang besar ini memiliki hirarki adat yang tersusun kedalam struktur lembaga adat Dayak Kanayatn. Ada tetua adat yang mengetahui semua hal yang berkaitan dengan budaya rumah betang, ada juga penanggung jawab rumah betang, kepala desa, sekretaris desa semuanya juga berkumpul menjadi satu didalam Rumah Betang. (RM)

Rumah Betang, Rumah Kehidupan Suku Dayak

Dalam sekali pandang, bangunan itu tidak tampak seperti sebuah rumah. Begitu besar, panjang, dan menjulang dari permukaan tanah pasir yang ditopang oleh tiang-tiang pondasi setinggi satu meter. Terasnya luas dan panjang seperti sebuah dermaga di tepian laut. Sejurus kemudian terdengar percakapan ramai berbahasa Ahe, bahasa suku Dayak Kanayatn.

Sekumpulan anak-anak menuruni tangga dan mengajak saya untuk menaiki bagian atas bangunan itu. Sebuah rumah kayu lebar dan sangat panjang berdiri kokoh di depan mata. Inilah Rumah Panjang, atau yang disebut Rumah Betang, ciri khas suku Dayak. Panjangnya mencapai 186 meter dan terdapat 36 kusen pintu setelah melewati teras, masing-masing kusen pintu adalah pintu masuk rumah dari masing-masing kepala keluarga.

Mereka menyebut masing-masing rumah keluarga berdasarkan nomor pintu rumah. “Pintu satu, itu pintu keluarga yang pertama, pak Albertus penghuninya,” kata Paulus Adi, yang mengantarkan saya menuju suku Dayak Kanayatn. Untuk menuju ke lokasi, diperlukan waktu 3 jam dari kota Pontianak dan sampai ke desa Sahamp, kecamatan Sengah Temila tempat Rumah Betang ini berdiri.

Rumah Pak albertus terletak di pintu satu. Salah satu hal yang menjadi daya tarik dari Rumah Betang adalah kehidupan yang berjalan didalamnya. Ketika masuk ke dalam, masih ada beranda bagian dalam rumah sebelum masuk ke dalam pintu masing-masing rumah satu keluarga. Keramaian rumah tak kalah dengan keraiman pasar pagi. Terlihat pula, modernitas telah masuk kedalam kehidupan Rumah Betang yang dominan masih tradisional ini.

Di musim-musim kemarau seperti Agustus, penghuni rumah betang sibuk berladang, membuka ladang, menebar benih padi dan menggarapnya. Dia siang hari, para wanita dan lansia kerap membuat anyaman berbentuk persegi panjang yang dipakai untuk atap dan terbuat dari daun kelapa dan anyaman untuk tampah beras. Mereka menggunakannya untuk mengganti atap rumah yang sudah mulai rusak.

Asas kekeluargaan Kanayatn tak hanya tersirat dari Rumah Betang saja, tetapi tersimpan dalam setiap isoteris karya seni pahat patung kayu yang digeluti oleh seorang seniman yang tinggal di pintu satu. Semua patung kayu, mencerminkan keluhuran budaya dan kesahajaan Kanayatn.

Rumah Albertus, seorang seniman suku Dayak Kanayatn yang juga memegang jabatan sebagai penanggungjawab Rumah Betang, menjadi tempat kunjungan bagi wisatawan yang memiliki ketertarikan akan seni, tidak hanya wisatawan lokal, dari mancanegara pun sering mengunjungi rumah Albert.

Di rumah Albert bertebaran patung-patung unik dan kental bernuansa etnik. Namun Albert tidak menjual semua patung karyanya. Beberapa patung sengaja dia buat untuk koleksi pribadi. Filosofi hidup suku Dayak Kanayatn memang kerap terpatri dalam sebuah pahatan seni. (Raisya Maharani)

Pabayo, Pabayo.. Usir Roh Jahat

Seorang kakek tua terlihat tengah memeluk kayu-kayu kuning dengan uraian-uraian tali diujungnya. Kakek itu berjalan menuju beranda luar rumah betang yang tertimpa sinar matahari terik seraya meletakkan kayu-kayu kuning tersebut.

Pandangan mata saya lekat tertuju pada bambu-bambu itu. Seakan menjawab pertanyaan saya, kakek itu tersenyum ramah sambil menunjuk ke arah kayu-kayu itu . “Pabayo, pabayo.. buat usir roh jahat,” kata kakek itu.

Pabayo terbuat dari bambu kuning, diujung bambu ditempeli serutan bambu yang menjadi halus seperti rambut. Pabayo digunakan pada upacara adat pernikahan, penyembuhan penyakit secara adat dan pengusiran roh jahat.

Suku dayak memang akrab dengan mistik. Selain Pabayo, pada pembangunan rumah atau renovasi rumah Betang, ada satu ritual yang harus dilakukan oleh suku Dayak, yaitu Upacara Barema. Prosesi Barema diawali dengan prosesi Ngelantekan, yaitu berdoa yang dipimpin oleh seorang Imam di malam hari sebelum memulai pembangunan rumah di esok paginya.

Doa dipanjatkan untuk meminta ijin dan pertolongan kepada Tuhan agar pada proses pembangunan atau renovasi rumah tidak terjadi hambatan. Pada pelaksanaan Barema, para wanita memasak beras ketan atau kelud, cucur dan menyiapkan peraga atau persembahan untuk Jubata, berupa logam mata uang lama, minyak atau tengkawang dalam bahasa Ahe, dan telur ayam.

Setelah doa dan peraga siap, pembangunan dan renovasi dapat langsung dilakukan. Begitulah cara suku Dayak membangun rumah. (RM)

Sumber : http://www.gatra.com/nusantara/kalimantan/3815-pabayo-pabayo-usir-roh-jahat

Postingan Popular

KOMPAS News Regional

Berita Lingkungan Nasional

Lowongan Kerja di Kalimantan Tengah