Selamat Datang Di Blog ini Semoga Bermanfaat... Terima Kasih Kunjungannya

Kamu Suka ini?

Piagam Gambut Sumberdaya Gambut Adalah Darah dan Nafas Hidup KamiPiagam Gambut Sumberdaya Gambut Adalah Darah dan Nafas Hidup Kami Central Kalimanta

Piagam Gambut

Sumberdaya Gambut Adalah Darah dan Nafas Hidup Kami

Central Kalimantan Peatland Charter - Peat Resources Is Our Life Blood and Breath

Hari ini Sabtu tanggal empat Desember dua ribu sepuluh, kami berkumpul dari berbagai pelosok desa-desa yang berada di wilayah gambut Kalimantan Tengah dalam agenda Temu Rakyat untuk mendeklarasikan PIAGAM GAMBUT Kalimantan Tengah, dimana sumberdaya gambut adalah darah dan nafas kehidupan kami.

Today is Saturday the 4th of December 2010, we gathered from various corners of the villages are located in Central Kalimantan peatland areas in the People's Meeting agenda to declare CHARTER OF PEAT Central Kalimantan, where the peat resource is our blood and breath.

Bahwa sesungguhnya sumberdaya gambut mengalir darah kami dan generasi sejak berabad-abad sebagai proses menciptakan teknologi dan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan untuk pengelola kebun karet, kebun rotan, kebun purun, kebun pantung, hutan adat, sungai, tatah, handil, beje, danau yang memberikan manfaat bagi pendidikan, kesehatan, kebudayaan yang miliki batas-batas yang melindungi kedaulatan dan kemerdekaan hak-hak kami menjaga wilayah gambut tetap lestari.

Behold, our blood flowing peat resources and generation for centuries as a process of creating technology and knowledge, skills and ability to manage rubber, rattan gardens, garden Purun, pantung gardens, indigenous forests, rivers, chisel, Handil, beje, lake provide benefits to education, health, culture have boundaries that protect the sovereignty and independence of our rights to maintain turf areas remain stable.

Kehadiran pembangunan mega proyek PLG 1,4 juta hektar, telah menyumbang kehancuran gambut, pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat, konflik social dan kesengsaraan jangka panjang bagi 82.000 jiwa warga di 77 Desa. Kesengsaraan belum selesai, pemerintah mengeluarkan kembali kebijakan pembangunan kawasan konservasi seluas 377.000 hektar, perkebunan kelapa sawit 360.000 hektar prakteknya menggusur dan menghilangkan hak-hak masyarakat adat.

The presence of mega development projects PLG 1.4 million hectares, have contributed to the destruction of peat, a violation of the rights of indigenous peoples, social conflict and long-term misery for 82,000 people in 77 village residents. Tribulation has not been completed, the government issued a re-development policy of conservation area covering 377,000 hectares, 360,000 hectares of oil palm plantations, which in practice to displace and eliminate the rights of indigenous peoples.

Persoalan perubahan iklim yang merupakan buah dari kegagalan negara maju menjadi acuan Pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan yang merugikan masyarakat adat, Peraturan Gubernur No 52 tahun 2008 merupakan pelanggaran atas hak-hak sosial dasar masyarakat untuk mendapatkan pangan yang cukup, kebijakan proyek Iklim KFCP (Kalimantan Forest Climate Partnership) REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation Forest) seluas 120.000 hektar berada di wilayah hak masyarakat adat di 14 desa/dusun dengan status kawasan lindung secara langsung akan menghilangkan hak masyarakat atas sumberdaya alam.

The issue of climate change which is the fruit of the failure of developed countries to benchmark local government issued a policy that of indigenous people, the Governor Regulation No. 52/2008 was a violation of basic social rights of people to get enough food, policy KFCP Climate Project (Kalimantan Forest Climate Partnership), REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) covering 120,000 hectares in the area of indigenous rights in 14 villages / hamlets which have the status of governance into the protected area directly would eliminate the right of people to natural resources.

Perjuangan masyarakat adat sampai pada titik puncak untuk mencapai keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian atas hak-hak petak danum dalam wilayah persekutuan adat berdasarkan batas-batas alam di tetapkan secara adat melalui musyawarah di Desa . Perjuangan ini akan menghantarkan mengantarkan Masyarakat adat ke depan pintu gerbang kemerdekaan atas kedaulatan hak-hak wilayah sumberdaya gambut, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan melindungi segenap generasi kami yang terbebas dari penjajahan, penindasan, penghisapan, pembodohan, ketidakadilan berdasar pada:

The struggle of indigenous peoples to the point of the peak to reach safety, prosperity and peace for the rights of petak danum plots in the area of customs union on the basis of natural boundaries customarily adopted by consensus at the village. This struggle will deliver the future of indigenous independence gate over sovereignty rights of the peat resources, an independent, sovereign united, just and prosperous to protect all our generation is free from colonialism, exploitation oppression, ignorance, injustice, based on

1) Masyarakat adat di wilayah gambut tetap akan mempertahakan kelestarian gambut untuk generasi masa depan, dengan menjunjung tinggi konsep pengelolaan berbasiskan pengetahuan dan kearifan local masyarakat dilakukan atas dasar persatuan dan kesatuan untuk melindungi ancaman yang datang dari luar baik langsung maupun tidak langsung.

Indigenous peoples in peatland areas will still be maintaining the sustainability of peatlands for future generations, by upholding the concept of management based on knowledge and wisdom of local people made on the basis of unity that comes from outside threats, either directly or indirectly.

2) Kami tetap menjalankan kehidupan kami dengan aktivitas ekonomi kerakyatan dari hasil-hasil sumberdaya alam secara lestari dan bekelanjutan, memfasilitasi peningkatan kapaisitas kemampuan dan ketrampilan masyarakat, kesehatan dan membina tata hukum adat dan dan menghargai aturan hukum lainnya, serta dengan kerendaha hati menyumbangkan solusi krisis iklim global dengan cara; melindungi hutan adat seluas 200.000 hektar, melakukan reforestasi dan rehabilitasi seluas 98.000 hectare dengan jumlah 77 juta pohon. Tersebar di 20 desa di sepanjang daerah aliran sungai Kapuas, dengan melibatkan sebanyak 3.100 keluarga, 24.000 jiwa dan meyakini kearifan local Kalimantan tengah.

We still run our lives with populist economic activists from the results of the natural resources sustainably and sustainable, facilitate capacity building skills, community skills, fostering good health and respect for customary law and other legal rules, and with humility to contribute solutions to the global climate crisis with ways; protect indigenous forests covering an area of 200,000 hectares, doing reforestation and rehabilitation of the land area of 98,000 hectares with a total 77 million trees. Spread over 20 villages along the Kapuas river basin, involving as many as 3100 families, 24,000 souls and believes the local wisdom of Central Kalimantan.

3) Kami mendesak Negara-negara maju di Forum COP 16 Cancun Mexico 2010 segera menurunkan emisi karbon nya (CO2) tanpa membebani negara-negara berkembang termasuk Indonesia dan masyarakat adat di Kecamatan Mantangai dan Timpah Kalimantan Tengah, karena ini sebuah pelanggaran hak-hak kami atas bangsa yang merdeka dan berdaulat.

We urge developed countries do Forum COP 16 Cancun - Mexico in 2010 immediately reduce emissions of carbon dioxide (CO2) without burdening the developing countries including Indonesia and Indigenous peoples in the district and subdistrict Timpah Mantangai Central Kalimantan, because it is a violation of our rights over free and sovereign nation.

4) Kami mendesak kepada delegasi Indonesia yang bertemu di forum perubahan iklim di Cancun, Mexico 2010 agar menghentikan negosiasi dengan kerangka kerja perubahan iklim yang tidak mengakui hak-hak dan kedaulatan masyarakat lokal dalam projek KFCP di Kabupaten Kapuas khususnya dan di Indonesia umumnya yang merupakan bagian dari projek-projek perubahan iklim.

We urge the Indonesian delegation which met on climate change forum in Cancun, Mexico in 2010 to halt negotiations with the climate change framework that does not recognize the rights and sovereignty of local communities in project KFCP in Kapuas regency of Indonesia in particular and generally that is part of the project -Project on Climate Change

5) Kami mendesak kepada Pemerintahan SBY – Boediono dan Pemerintah Daerah – untuk segera mencabut dan meghentikan perijinan untuk investasi besar perkebunan kelapa sawit, pertambangan, pabrik-pabrik pencemar, teknologi kotor dari Negara maju – yang menggusur hak-hak rakyat, mencemari sumber-sumber air, udara dan menganggu kesehatan masyarakat khususnya perempuan dan anak-anak di Indonesia.

We urge the government of SBY - Boediono and Local Government - to immediately unplug and stop licensing for large investment in oil palm plantations, mining, polluting factories, dirty technologies from developed countries - that displace people's rights, polluting sources water, air and disturb the health of people, especially women and children in Indonesia.

6) Pengelolaan sumberaya gambut adalah hak dan kewajiban kami, sebagai masyarakat adat yang berdaulat berdasarkan aturan local (hukum adat), merupakan bagian sejarah kedaulatan bangsa yang merdeka, bebas dari segala bentuk penjajahan, baik yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri maupun asing atas nama projek perubahan iklim - REDD.

Peat resource management is a right and our duty, as a sovereign indigenous peoples based on local laws (customary law), are part of sovereignty history an independent nation, free from all forms of colonialism, whether conducted by the Government of Indonesia on behalf of itself and foreign projects on Climate Change - REDD.

Demikianlah naskah piagam gambut ini kami deklarasikan dimana sumberdaya gambut adalah darah dan nafas kehidupan kami.

Kuala Kapuas, 4 Desember 2010

Kami peserta temu rakyat yang bertandatangan Atas Piagam Gambut Kalimantan Tengah

Thus we declare the charter script where peat resources are our life blood and breath.

Kuala Kapuas 4 December 2010 Our participants met the people who signed of Central Kalimantan peat charter

Agus (Sebangau), Hengky (Kereng Bangkirai), Budi (Kereng Bangkirai), Udeng (Desa Tumbang Nusa), Yuliati (Desa Pantai), During ( Desa Pantai), Siti Aisah ( Desa Mantangai Hulu), Jainudin ( Desa Patai), Johan Ardi ( Desa Pantai), P.Doto ( Desa Sei Jaya), Sumiadi.M ( Desa Sei Jaya), Vira Tunjung ( Desa Sei Jaya), Kanisius.B (Desa Katunjung), Andes Ilas ( Desa Katunjung), Ardianson ( Desa katunjung), Susundoro (Kameluh Baru), Saripudin (Dusun Talekung Punei), Anwar. J, (Dusun Talekung Punei, Sakalik (Desa Sei Ahas), A. Aini. DA (Desa Katimpun), Yanmar ( Desa Kalumpang), Maza Gatis (Desa Kalumpang), Bangun Aspar (Desa Mantangai Hulu), Nanang ( Desa Katimpun), Suka (Desa Sei Ahas), Akhlimer ( Desa Kalumpang), Didin (Desa Sei Ahas), Basri. HD ( Desa Mantangai Hulu), M. Imam Hambali ( Desa MAntangai Hulu), Rdie.A (Desa Pulau Kaladan), Karti (Desa Pulau Kaladan), Uben ( Desa Basarang), Misran (Desa Basarang), Imam Taufik ( Tumbang Mangkutup), Suriansyah ( Desa Katunjung), Siga. E Saman (Tumbang Mangkutup), Supiyan (Desa Jabiren), Margu. A. Sani ( Desa Jabiren), Rustam Efendy (Desa Mantangai Tengah), Musie (Desa Mantangai Tengah), Sumardi ( Desa Mantangai Tengah), Tuhas ( Desa Mantangai Tengah), Yunes ( Desa Mahajandau), Januadi (Desa Mahajandau), Yahya Eday ( BLH Kapuas), Asmuri ( Kapuas), Ikhwan (Kapuas), Alpian (Kapuas), Arief (Kapuas), Abdul Hamid ( Desa Katunjung), Koesnadi.WS (Bogor), Hanni Adiati (Jakarta), April Perlindungan (Kapuas), Muliadi, SE (Kapuas), Eka Dewi Sinta (Kapuas), Desy (Kapuas), Evi Lestari (Kapuas), Norhadie Karben ( Desa Mantangai Hulu).

Menhut Janji Perjuangkan Hak Suku Dayak Ngaju

Menhut Janji Perjuangkan Hak Suku Dayak Ngaju

Janji Menhut dalam bentuk mendukung masyarakat mengambil alih perusahaan sawit yang ilegal.

Khalisah Khalid, dari Pusaka, yang mendampingi warga adat Dayak Ngaju, mengungkapkan bahwa menteri kehutanan sudah memberikan janji untuk mendukung masyarakat mengambil alih perusahaan sawit yang ilegal.

Khalisah menyampaikan itu, usai mendampingi warga masyarakat adat dari empat desa di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, yang sudah menjalani beberapa pertemuan dengan menterik kehutanan, DPR RI, dan Badan Pertanahan Nasional, di Jakarta, hari ini.

"Janji yang dilontarkan menteri kehutanan yang menemui perwakilan para masyarakat adat yang berasal dari Kalteng. Pertama, bagi perusahaan sawit yang ilegal, masyarakat didorong untuk mengambil alih perusahaan itu. Konon, masyarakat dilindungi dan dibela untuk tindakan itu, tetapi yang kita lihat justru malah banyak kriminalisasi terhadap warga," kata Khalisah.

Kedua, lanjut Khalisah, meminta kepada staf kehutanan untuk melihat peta wilayah yang kosong agar bisa diberikan kepada masyarakat.

Selain bertemu dengan menteri kehutanan, para masyarakat adat juga bertemu dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), minggu lalu, yang juga mempertanyakan kelanjutan nasib rehabilitasi kawasan eks PLG tersebut.

Sementara, di Badan Pertanahan Nasional, diungkapkan ada komitmen untuk bisa menyelesaikan konflik agraria yang terjadi.

"Kami mendorong penyelesaian yang tidak setengah-setengah sebenarnya. Jadi, harusnya mereka bisa duduk bareng dan menyelesaikan ini, bukan lalu tiap sektor bilang kalau tugas mereka hanya a atau b atau c saja," kata Khalisah.

Penulis: Fidelis E. Satriastanti/DAS


http://beta.beritasatu.com/nusantara/14716-menhut-janji-perjuangkan-hak-suku-dayak-ngaju.html

Masyarakat Adat Dayak Sungai Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah Bertemu dengan Menteri Kehutanan

Jakarta, 18/10.

Masyarakat Adat Dayak Sungai Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah Bertemu dengan Menteri Kehutanan


Bertempat di ruang rapat Menteri Kehutanan, pada jam 9.00 WIB, sembilan (9) orang perwakilan masing-masing tiga dari WALHI dan enam dari warga masing-masing dari Desa Katunjung, Desa Katimpun, Desa Mantangai dan Desa Pulau Kaladan Kab. Kapuas telah diterima oleh Menteri Kehutanan. Dalam percakapan yang berlangsung sekitar 45 menit, warga secara bergiliran menjelaskan bahwa terdapat empat ancaman yang saat ini sedang dihadapi oleh warga adat di 20 desa sekitar eks PLG sejuta hektar. Ancaman tersebut, 1. Lahan warga dan lahan gambut telah digusur oleh perkebunan sawit (PT.Rezeki Alam Semesta Raya) dan tanpa izin, 2. Lahan dan wilayah kelola adat telah diklaim masuk kedalam tapak proyek REDD kerjasama pemerintah Australia dan Indonesia yang dikelola oleh Kalimantan Forest Claimate Patenership (KFCP), 3. Hutan-hutan telah dijadikan sebagai areal pertambangan, dan 4. Keberadaan Bos Mawas telah membuat warga sulit mengakses hasil hutan non kayu termasuk ikan diperairan sungai karena kawasan tersebut dianggap sebagai daerah konservasi.


Menjawab penjelasan tersebut, terkait perkebunan sawit, Menteri Kehutanan menyarankan agar lahan tersebut diambil alih oleh rakyat dan di bagi-bagi namun tidak boleh dijual belikan. Alasan pengambilalihan karena selain menggusur tanah warga, juga perusahaan tidak memiliki ijin dengan kata lain ileggal. Menteri pun bersedia berperang dengan aparat polisi jika suatu saat masyakat ditangkap. Alasan karena masyarakat berada pada posisi yang benar. Jika memiliki ijin sekalipun, maka perusahaan harus menyerahkan seluas 20 persen dari total lahannya kepada masyarakat untuk dikelola secara kolektif. Kedua terkait proyek REDD yang dianggap merugikan masyarakat adat, Menteri menyarankan pula agar rakyat menolak proyek tersebut meskipun telah terjadi kesepakatan antara pemerintah RI dengan Australia. Alasan penolakan karena masyarakat belum memberikan persetujuan. Namun Manteri juga meminta agar masyarakat kompak, karena selain terdapat warga yang menolak, banyak juga warga yang ikut proyek. Disinilah dilemanya menurut beliau, sehingga disarankan kembali agar warga kompak dan jika kompak proyek bisa ditolak bahkan diusir jika tidak mendapat persetujuan masyarakat adat. Terkait pertambangan, Kementerian mohon diberikan informasi yang akurat agar bisa mengambil tindakan dalam tempo cepat.


Menhut juga meminta agar warga harus menemui kepala daerah sebelum ke JKT. Alasannya karena sejak otonomi daerah sebagian perijinan diterbitkan oleh Kepala Daerah. Selama ini terdapat sebagian tindakan yang keliru karena menganggap bahwa seluruh ijin dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan, padahal yang banyak menerbitkan ijin adalah kepala daerah.


Untuk memastikan semua informasi yang disampaikan warga benar adanya, maka Menteri meminta warga agar segera melengkapi dokumen atau bukti penguat bagi warga adat. Dan untuk menindaklanjuti hasil pembicaraan ini, Menteri Kehutanan telah menugaskan staf ahli khusus untuk mendalami dengan segera kasus yang disampaikan warga dayak Kapuas – Kalimantan Tengah.


Ditempat terpisah dalam acara pertemuan Gerakan Mahasiswa Pecinta Alam (GEMPALA) se Indonesia yang juga dihadari dan disaksikan oleh warga Dayak Kapuas, dihadapan sekitar 400 perwakilan KPA/MAPALA, Menhut kembali menjelaskan bahwa tanah-tanah warga dayak Kapuas telah digusur secara semena-mena dan tindakan semacam ini yang harus dilawan.

Sikap AMAN Kalteng Mengenai REDD+ dan RTWP

Sikap AMAN Kalteng Mengenai REDD+ dan RTWP

Kami, Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah, menegaskan, bahwa Masyarakat Adat merupakan pemegang hak atas wilayah dan hutan adat. Masyarakat adat memiliki berbagai kearifan lokal yang selama ratusan telah terbukti berhasil menjaga, mengelola dan mempertahankan hutan secara arif dan lestari. Proyek-proyek pembangunan melalui pengembangan perkebunan kelapa sawit, tambang, HTI dan pengembangan Lahan Gambut (PLG), merupakan penyebab utama kerusakan dan hilangnya hutan di Kalimantan Tengah.

Sebagai Pilot Project REDD+, Propinsi Kalimantan Tengah menjadi sorotan dunia dan menjadi tujuan investasi REDD+. Berbagai inisiatif mulai dikembangkan, antara lain melalui: kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia yang dikenal sebagai project Kalimantan Forest Carbon Partnership (KFCP) dan kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Norway yang tertuang dalam LoI, yang menjadi project dengan dana terbesar terkait REDD+. Selain itu, terdapat banyak inisiatif-inisiatif lainnya yang melibatkan lembaga-lembaga internasional seperti The Clinton Foundation, WWF, FFI, BOS, CARE Internasional, Wetland dll.

Sementara itu, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah yang seharusnya menjadi acuan dalam pengelolaan ruang di Kalimantan Tengah, belum tuntas di diskusikan. Proses-proses pembuatan RTRWP juga tidak melibatkan Masyarakat Adat dan Masyarakat Sipil. Hal ini menambah kerumitan persoalan di Kalimantan Tengah, yang akan berdampak pada implementasi REDD+.

  1. Menyikapi berbagai perkembangan di Kalimantan Tengah terkait REDD+ dan lain-lain, dengan ini, kami menyatakan, bahwa :
    Berbagai Inisiatif REDD+ dan pembuatan RTRWP di Kalimantan Tengah, tidak dilaksanakan secara transparan dan mengabaikan situasi-situasi yang berkembang di Komunitas-Komunitas Masyarakat Adat. Ketidakjelasan informasi dan tidak transparannya berbagai project REDD+ ini menyebabkan kebingungan dan kekacauan di komunitas-komunitas Masyarakat Adat.
  2. Komunitas-komunitas Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah belum memahami REDD+ dan berbagai inisiatif yang muncul dari upaya ini. Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sebagai prinsip dan Hak Masyarakat Adat, tidak dijalankan dalam berbagai proses REDD+ dan pembuatan RTRWP. Hal ini menyebabkan Masyarakat Adat hanya menjadi object dari inisiatif-inisiatif ini, tanpa dapat terlibat sebagai pengambil keputusan atas berbagai inisiatif yang akan berdampak terhadap wilayah, hutan dan kehidupan Masyarakat Adat.
  3. Belum tersedianya Strategi Daerah (Strada) REDD+ sebagai dampak dari belum ditetapkannya Strategi Nasional (Stranas) REDD+, menyebabkan ketidakjelasan acuan pelaksanaan REDD+ di Propinsi Kalimantan Tengah.
  4. Kelembagaan REDD+ yang dirancang di Kalimantan Tengah, tidak dibentuk dengan melibatkan Masyarakat Adat, sehingga tidak mengakomodir kepentingan Masyarakat Adat. Selain itu, Kelembagaan yang ada saat ini belum mampu mengkoordinir dan mengatur semua inisiatif-inisiatif REDD+ di Kalimantan Tengah, sehingga terjadi pembiaran atas berbagai ketidakjelasan koordinasi dan informasi terkait inisiatif-inisiatif REDD+ ini.
  5. Peraturan Daerah No. 16 tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah mengandung ketidakjelasan wewenang dan fungsi antara Damang sebagai Kepala Adat dari Kelembagaan Adat Komunitas, dengan pemerintah. Hal ini dapat menyebabkan adanya tumpang tindih otoritas di komunitas. Selain itu, tidak terdapat aturan tentang peningkatan kapasitas Damang dan Lembaga adat, untuk mampu mengelola Kelembagaan Adat untuk berhadapan dengan berbagai intervensi dari luar.

Sementara itu, Peraturan Gubernur No. 13 tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat di Atas Tanah di Propinsi Kalimantan Tengah tidak menjamin Hak-Hak Kolektif Masyarakat Adat atas ruang dan wilayah, karena hanya bertumpu pada hak atas tanah secara individual. Lebih jauh lagi, PerGub ini tidak disertai dengan petunjuk pelaksanaan dan pendanaan untuk implementasi di lapangan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dan memperhatikan situasi di komunitas-komunitas Masyarakat Adat, kami, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah, menyerukan :
PENGHENTIAN SEMENTARA semua proses-proses pendanaan REDD+ di Kalimantan Tengah, sampai hal-hal mendasar yang menjadi syarat utama dipenuhi.
Syarat-syarat tersebut sebagai berikut :

  1. Adanya kepastian Hak-Hak Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah, termasuk hak-hak kolektif atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, sesuai dengan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.
  2. Pelibatan penuh dan efektif Masyarakat Adat dalam seluruh proses perencanaan, implementasi dan monitoring terhadap pembangunan di Kalimantan Tengah yang akan berdampak pada kehidupan mereka, termasuk dalam hal ini REDD+ dan RTRWP, harus dipastikan, sesuai dengan prinsip-prinsip dan hak Masyarakat Adat yang tertuang dalam FPIC (Free, Prior and Informed Consent).
  3. Sosialisasi, penyebaran dan penyampaian informasi kepada komunitas-komunitas Masyarakat Adat mengenai setiap project REDD+ yang akan dilakukan di Kalimantan Tengah, harus dilakukan secara massive dan merata. Hal ini untuk menjamin keterlibatan penuh dan hak untuk mengambil keputusan di tingkat komunitas.
  4. Pemerintah harus melakukan identifikasi dan inventarisasi pengetahuan-pengetahuan tradisional Masyarakat Adat dalam pengelolaan hutan, sebagai modal dasar pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah. Hal ini sesuai dengan mandate yang ditetapkan dalam kebijakan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)
  5. Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah untuk mendukung upaya-upaya identifikasi dan inventarisasi wilayah adat, yang dilakukan oleh komunitas-komunitas Masyarakat Adat melalui pemetaan-pemetaan partisipatif.
  6. Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah untuk segera melakukan sosialisasi dan konsultasi publik, yang melibatkan Masyarakat Adat dan masyarakat sipil di Kalteng, mengenai RTRWP Kalteng.
  7. Perda No. 16/2008, harus menjamin hak-hak kolektif Masyarakat Adat atas Kelembagaan Adat yang memiliki kedaulatan untuk mengatur wilayah adat dan komunitas adatnya sesuai dengan aturan adat yang berlaku di wilayah masing-masing. Pergub No. 13/2009 harus menjamin hak kolektif Masyarakat Adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam.

Selain hal-hal tersebut, menyikapi keluarnya Inpres No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut, kami menyatakan sebagai berikut :


  1. Mendukung upaya pemerintah untuk melakukan penundaan pemberian ijin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan primer dan lahan gambut. NAMUN, upaya ini tidak akan dapat berjalan efektif melalui Instruksi Presiden. Pemerintah Indonesia seharusnya melakukan kaji ulang terhadap semua kebijakan yang terkait dengan pengelolaan hutan dan ijin-ijin yang telah dikeluarkan selama ini. UU No. 41 tahun 1999 mengenai Kehutanan yang menjadi pangkal persoalan kehutanan di Indonesia harus segera direvisi.
  2. Inpres No. 10 tahun 2011 harus diganti ke dalam bentuk kebijakan lain yang berdimensi publik, karena hal-hal yang diatur di dalam kebijakan ini berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak. Kebijakan ini juga harus menetapkan kriteria dan indikator yang dapat digunakan untuk menilai sukses dan gagalnya implementasi kebijakan ini di lapangan.
  3. Kebijakan mengenai kehutanan harus memperjelas tata kelola hutan di Indonesia, termasuk di dalamnya menjamin adanya kepastian hukum atas hak Masyarakat Adat atas sumberdaya hutan, baik yang ada di kawasan hutan maupun yang ada di luar kawasan hutan.
  4. Secara khusus, kami menuntut Pelaksanaan Inpres No. 2 tahun 2007 tentang Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Eks PLG 1 Juta Hektar di Kalimantan Tengah. Secara substansi, Inpres ini hanya membolehkan 10 ribu hektar untuk perkebunan kelapa sawit. Dalam kenyataannya, terdapat 360 ribu hektar ijin untuk perkebunan kelapa sawit di kawasan Eks PLG. Pelanggaran-pelanggaran ini harus ditindak secara hukum yang berlaku, termasuk dugaan terjadinya KKN dalam investasi-investasi ini.

    Demikian pernyataan ini kami buat bersama-sama.
    Wisma Soverdi, Palangkaraya, 17 Juni 2011
    Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah

Ranying Hatalla Langit; Tuhan Suku Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah | Melayu Online

Revisi UU Pokok Agraria untuk Hindari Kutukan

Kamis, 13 October 2011
Studi banding jangan ke luar negeri, tetapi ke masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia.



Guru Besar Hukum Agraria UGM Maria Sumardjono minta DPR luruskan makna ‘agraria’ dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Foto: SGP

Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gajah Mada (UGM) Maria Sumardjono meminta agar DPR meluruskan makna ‘agraria’ dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Isi undang-undang ini seakan mengartikan agraria sebagai tanah saja, karena mayoritas pasalnya hanya berbicara tanah. Padahal, makna agraria yang sebenarnya juga mencakup air dan bahkan ruang angkasa.

Anggota Komisi II dari PDIP Budiman Sudjatmiko setuju dengan pendapat pakar bahwa makna agraria bukan sekedar tanah, tetapi juga air dan ruang angkasa. Atau bila diperluas dapat diartikan sebagai Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di bumi Indonesia. Ia menilai pentingnya upaya merevisi UU Pokok Agraria ini, karena persoalan agraria sangat berkaiatan dengan hajat hidup orang banyak.

Bahkan, lanjut Budiman, konflik-konflik horizontal antar agama, ras dan suku itu hanya selubung dari konflik penguasaan konflik sumber daya alam yang ada. "Saya tak percaya konflik-konflik horizontal itu berdiri sendiri. Ini semua kan terjadi di wilayah-wilayah yang memiliki SDA yang melimpah. Misalnya, di Poso atau Kalimantan," ujarnya di ruang rapat Komisi II, Rabu (12/10).

Budiman mencontohkan konflik yang terjadi di Afrika. Ia menyebut istilah
Natural Resources Curse atau kutukan sumber daya alam. "Mereka yang hidup di SDA yang sangat bagus, seakan dikutuk untuk selalu berkonflik," ujar mantan Aktivis Gerakan Kiri ini.

Karenanya, revisi UU Pokok Agraria ini sangat diperlukan untuk menghindari itu. Dengan adanya UU Pokok Agraria yang komprehensif diharapkan konflik-konflik penguasaan SDA itu dapat dihilangkan, atau minimal dapat diminimalisir. "U
ndang-undang ini harus bisa diperkuat agar bisa menjawab persoalan-persoalan konflik itu," tuturnya.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (Sekjen KPA) Idham Arsyad mengatakan sebelum melakukan revisi sebaiknya DPR mengaji ulang dan menginventarisasi struktur-struktur kepemilikan yang timpang. Dari situ, maka akan bisa diketahui apa yang bisa dilakukan oleh DPR, apakah perlu merevisi UU Pokok Agraria itu atau sekedar menyelesaikan konflik agraria yang ada.

“Ini harus dikaji secara mendalam, jangan sampai revisi undang-undang ini justru dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan liberal,” ujar Idham.

Guru Besar Hukum Agraria Unversitas Indonesia (UI) Arie Sukanti Sumantri-Hutagalung mempersilakan bila DPR ingin merevisi UU Pokok Agraria ini. Namun, dia menilai ada beberapa pasal yang perlu dipertahankan untuk menjamin hak-hak rakyat Indonesia. “Saya rasa Pasal 1 sampai Pasal 19 UU Pokok Agraria itu harus dipertahankan,” tuturnya.

Salah satu isi ketentuannya adalah kepemilikan tanah hanya oleh warga negara Indonesia. Hal tersebut perlu dipertahankan karena orang-orang yang berlatar belakang ekonomi kerap mempertanyakan dan berusaha mengubah ketentuan ini. “Kenapa orang asing nggak boleh punya tanah? Toh, tanah ngga bisa dibawa  ke luar negeri. Ini kata teman-teman saya dari ekonomi,” tuturnya.

Selain itu, Prof. Arie juga memberi pesan kepada DPR yang sudah mulai membahas revisi UU Pokok Agraria ini. Ia menilai tak ada negara yang pantas menjadi rujukan Indonesia dalam persoalan agraria ini, karena UU Pokok Agraria sendiri merupakan ‘asli’ Indonesia. “Studi bandingnya nanti ke masyarakat hukum adat. Rujukannya ya ke situ,” pungkasnya.
Penulis : Ali 

Postingan Popular

KOMPAS News Regional

Berita Lingkungan Nasional

Lowongan Kerja di Kalimantan Tengah